Meski LSM, baik nasional atau internasional sering mengkritik pemerintah dikarenakan penggunaan dana yang tidak efisien, tetapi bukan berarti LSM juga tidak memiliki cela dalam mengelola dana. Seperti halnya pemerintah, LSM, terutama LSM dari negara maju mengelola dana publik, yaitu dana pembayar pajak, sama halnya dengan pemerintah, sehingga idealnya, jika ingin mengkritik pemerintah, maka LSM harus bisa menunjukkan kalau mereka bisa lebih baik dari pemerintah. Tetapi ternyata, LSM tidak selalu efisien dan cerdas dalam mengelola dana.
Misal, terkadang LSM Internasional, mendatangkan konsultan asing, yang tentu saja menggunakan rate asing.
Misalkan, untuk mendatangkan seorang konsultan pembangunan dari negara di Eropa Barat, sebuah organisasi pembangunan/ LSM bisa mengeluarkan dana sebesar 100 juta. Bayangkan seratus juta hanya untuk lima hari.
Rinciannya adalah kurang lebih sebagai berikut. Konsultan Asing yang didatangkan, tentu saja tidak gratis, mereka akan mencharge organisasi yang mendatangkan mereka dengan rate harga professional mereka. Semakin tinggi jam terbang dari konsultan, semakin luas pengalamannya maka harganya semakin mahal. Rate konsultan ini berbeda tergantung dengan keahlian dan juga tergantung dari negosiasi konsultan. Tingkat pendidikan konsultan, dan juga negara asal dari konsultan juga akan mempengaruhi “harga” konsultan ini.
Sebagai contoh, berdasarkan data yang saya punya, seorang konsultan dari eropa, dengan pengalaman 30 tahun bekerja di development bisa mencharge-layanan jasa mereka 100 EUR per hari, konversi kasar menjadi berkisar 13-14 juta sehari. Jika konsultan tersebut bekerja selama lima hari, maka jumlah yang harus dibayarkan adalah maksimal 70 juta untuk lima hari kerja. Tetapi jika dilihat lagi, lima hari tersebut bukan lima hari full konsultan tersebut bekerja di negara dimana dia di panggil, misal di Indonesia, tetapi beberapa konsultan, juga akan mengkonversi lama hari perjalanan menjadi hari kerja.
Selain dari harga biaya professional atas jasa konsultasi konsultan, maka biaya lain yang harus dikeluarkan untuk mendatangkan konsultan adalah biaya tiket pesawat dari negara asal (misal, dari Jerman, Belanda, Inggris), biaya makan mereka selama di perjalanan dan di Indonesia, hotel, biaya transportasi lokal seperti sewa mobil dan sebagainya.
Apakah konsultan asing tersebut begitu hebat, sehingga 100 juta yang dikeluarkan untuk mendapatkan “otak” mereka selama 5 hari menjadi pantas? Tidak juga. Karena pada faktanya, banyak konsultan asing, terutama yang belum pernah bekerja dan tinggal di Indonesia, dan yang tidak bisa berbahasa Indonesia, sering tidak efektif bekerja di Indonesia. Sehingga tak jarang, LSM asing yang mendatangkan konsultan asing akan memasangkan konsultan asing tersebut dengan konsultan Indonesia. Dan tentu saja konsultan Indonesia memiliki pengetahuan yang lebih luas, dalam konteks Indonesia. Dan dalam lima hari konsultan asing akan menyerap belasan bahkan puluhan tahun pengalaman konsultan Indonesia tersebut yang kemudian akan menjadi “ilmu’ milik konsultan asing tersebut, dan akan keluar sebagai “temuan” dari kerja konsultan asing selama di Indonesia. Dan bagaimana mengenai harga antara konsultan dalam negri dana asing, misal konsultan asing diharga sekitar 13-14 juta sehari, konsultan tersebut memiliki pengalaman kerja 20-30 tahun, dan hanya memiliki pendidikan S1 di negara asalnya. Dan konsultan Indonesia yang dipasangkan dengannya, memiliki pendidikan S3, dimana S2 dan S3 di dapat dari dua negara berbeda, dari dua dunia berbeda (Eropa, dan Amerika), hanya mendapatkan harga maksimal sehari sebesar 2 juta-3 juta per hari dengan beban kerja yang lebih banyak. Dan terkadang, konsultan yang datang mengeluarkan publikasi berdasarkan informasi yang dia dapatkan selama di Indonesia, dimana royalty dari karya tulis tersebut menjadi milik dari konsultan/ peneliti asing tersebut. Dan ketika orang Indonesia, menggunakan informasi yang sama, orang Indonesia, bahkan konsultan Indonesia yang menyumbangkan banyak informasi untuk konsultan asing terpaksa harus membayar jika ingin mendapatkan data tersebut dan mengutip informasi yang dia tuliskan.
Justifikasi yang sering di gunakan untuk mendatangkan konsultan asing adalah bahwa lima hari mereka selama di Indonesia, sama dengan lima bulan tenaga ahli Indonesia di Indonesia. Dalam artian, konsultan asing mampu memberikan analisa yang lebih kritis, yang lebih tajam, dimana banyak orang Indonesia tidak mampu melakukannya. Dan juga konsultan tersebut sudah bepergian ke 15 atau bahkan lebih negara, dan juga memiliki pengalaman kerja di Afrika, benua yang memiliki masalah kemanusian terbesar dan kompleks.
Apakah ada manfaat dari mendatangkan konsultan ahli asing, tentu saja ada, tetapi pertanyaannya adalah apakah manfaat yang didapat berimbang dengan biaya yang dikeluarkan. Saya ingat, saya pernah berbicara dengan seorang staf senior asing yang bekerja di sebuah lembaga pembangunan internasional yang ada di Jakarta. Dia bertanya mengenai berapa harga yang pantas dibayarkan untuk tenaga ahli di Indonesia, dengan mempertimbangkan pengalaman, pendidikan, dan publikasi yang pernah dihasilkan. Inti dari pembicaraan tersebut, dia tetap berargumen bahwa tenaga asing yang dibayar 5 hingga 10 kali lebih tinggi dari tenaga ahli Indonesia adalah wajar, apalagi jika tenaga ahli Indonesia tersebut tidak pernah mengikuti sistem pendidikan barat di negara maju. Dia mengatakan kalau dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia sekarang, maka lulusan Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan negara maju, misal dengan negara Belanda. Dia juga berbicara mengenai hasil dan kualitas dari pekerjaan, hal tersebut juga yang akan mempengaruhi pantas atau tidak pantas. Dia berargumen, konsultan Indonesia, yang bahkan sudah menempuh pendidikan tinggi lama di luar negeri, tetap tidak mampu menghasilkan laporan yang tajam dan ringkas seperti halnya konsultan asing. Konsultan Indonesia cenderung menghasilkan laporan yang panjang, berputar, dan tidak menjawab inti permasalahan, dimana yang menjadi alasan awal kenapa dia ditugaskan untuk pekerjaan tersebut.
Sehubungan dengan bahasan diatas jika kita kaitkan dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), bagaimana nilai tenaga ahli Indonesia jika dibandingkan dengan tenaga aahli dari Singapore, Malaysia, atau Filipina? Akankah harga tenaga ahli Indonesia masih akan tetap dibawah? Apalagi ditambah dengan penguasaan Bahasa Inggris tenaga ahli Indonesia yang masih kalah dengan tiga negara tersebut. Pertanyaan yang tersisa adalah bagaimana cara kita untuk bisa mengejar ketertinggalan kita?
RF