Mobil Travel yang sudah dipesan akhirnya datang juga pada pukul 12 siang, dan ternyata mobilnya masih kosong. Si supir dengan satu orang temannya terlihat sedang kesal. Sayang saya tidak bisa mengerti sepenuhnya apa yang mereka bicarakan.
Setelah saya masuk mobil dan duduk, mobil segera melaju untuk menjemput penumpang lainnya, akhirnya mobil tersebut penuh juga. Saya bukan satu-satunya penumpang yang kesal karena keterlambatan ini. Penumpang yg lain terlihat tidak kalah kesal. Agen travel meminta maaf kepada saya dan menjelaskan kalau sebelumnya mobilnya pecah ban, karena itulah dia jadi terlambat.
Mobil yang saya tumpangi tidak dilengkapi dengan AC, sementara suhu udara Jambi pada siang itu sangat panas. Penumpang yang duduk dibelakang ada yang membawa ayam. Jadilah saya bermandikan keringat dan ditemani dengan suara ayam.
Setelah kurang lebih setengah jam, mobil tersebut kembali berhenti. Pak supir menjelaskan kepada kami penumpang kalau ada mobil temannya yang sedang rusak dan butuh bantuan. Dia harus segera kesana. Penumpang tentu saja tidak setuju. Salah satu penumpang dari kursi belakang berkata kalau Pak supir juga harus menolong penumpangnya dan dia butuh cepat sampai di Kerinci karena ada transaksi bisnis yang harus dikejar. Jika mobil tidak segera berangkat ke Kerinci dia bisa rugi jutaan. Mungkin si mba tersebut hanya bercanda. Namun cukup untuk membuat si supir berfikir ulang. Pak supir terlihat bimbang, namun akhirnya pergi juga. Dia pergi dengan sepeda motor pinjaman dan meninggalkan penumpang kepanasan di dalam mobil selama kurang lebih 30 menitan.
Meskipun kesal, karena ditinggal pergi oleh Supir, penumpang hanya bisa menunggu. Dan tidak bisa pindah ke kendaraan lain. Hal ini dikarena kendaraan umum yg berangkat dari bangko ke kerinci dipagi-siang hari hanya mobil travel ini. Jadi tidak akan ada kendaraan lain yang lewat. Jika perjalanan di malam hari maka pilihan bis dari Jambi ke Kerinci sangat banyak.
Disebelah saya, di kursi sebelah Supir, duduk si mas yang ngakunya putra asli Kerinci. Orangnya sopan dan berwawasan luas. Mobil travel juga diiringi oleh musik yang enak didengar sehingga perjalanan yang awalnya mengesalkan menjadi menyenangkan. Pada awalnya kondisi jalan cukup baik, tetapi setelah kurang lebih 3 jam perjalanan, jalanan berubah menjadi buruk. Selain sempit jalanan juga rusak. Ketika sudah hampir mendekati Kerinci kondisi jalanan lebih parah lagi karena ada perbaikan jalan dan tanah merah serta lubang ada dimana-mana. Si supir sangat sabar, terampil, dan juga berhati-hati. Melihat gaya mengemudinya, penumpang menjadi tenang. Di kursi belakang ada serombongan penumpang yang terus melucu, dia terus saja berceloteh menggoda pak supir dengan leluconnya. Banyak penumpang yg tertawa, dan si supir juga turut tertawa sambil sesekali turut menimpali guyonan serombongan mba-mba tersebut. Rombongan tersebut dikepalai oleh satu orang, yang tidak pernah kehabisan bahan guyonan.
Akhirnya jam 7 malam sampai juga di Sungai Penuh ibukota Kerinci. Saya menginap di salah satu hotel sederhana dengan harga per malamnya 100 ribu. Ada 2 bed kecil, kamar mandi, namun tidak ada air panas. Disamping hotel tersebut banyak terdapat rumah makan/ restoran. Perempuan menginap sendirian di kota kecil sering dianggap aneh. Ketika saya memasuki hotel yang tidak terlalu besar tersebut, banyak mata yang melirik saya. Mereka pasti berfikir, kok si mba ini jalan sendirian dan menginap di hotel, memang dia hendak kemana dan dari mana? Saya melangkah tenang dan pasti, membiarkan orang mereka-reka sendiri.
Setelah mandi, sekitar pukul 8 malam, saya keluar hotel, dan makan di salah satu warung sate tidak jauh dari hotel. Rasa Sate di kerinci tidak jauh beda dengan sate Padang atau mungkin bisa dibilang persis sama dengan sate Padang. Ketika masuk ke warung sate tersebut kembali saya mendapatkan lirikan aneh penuh pertanyaan. Dengan santai saya memesan satu piring sate dan segelas air panas. Sambil menunggu saya melempar pandangan memperhatikan warung tersebut. Warung itu tidak terlalu ramai. Tak jauh dari meja saya ada 2 rombongan bapak-bapak yang sedang menyantap sate, ruangan dipenuhi oleh asap rokok. Satu meja lagi tidak jauh dari meja saya, ada serombongan keluarga, Ibu dan bapak, beserta 3 anak remaja yang terlihat rukun dan harmonis.
Setelah makan, saya kembali ke hotel, dan mencoba menghubungi beberapa teman. Saya belum tahu tempat bagus untuk dikunjungi. Terdengar sedikit gila bukan?. Tapi percayalah kadang hidup membutuhkan kegilaan dan juga ketidakpastian. Mengunjungi objek wisata bukan tujuan utama saya. Bagi saya mengenal makanan setempat, mengamati orang yang berlalu lalang, mengobrol dengan pedagang asli di pasar sama menariknya dengan pergi ke tempat wisata. Akhirnya dari sekian banyak telfon, saya agak lega, karena salah seorang teman saya yang sedang bekerja di Padang akan menyusul saya ke Kerinci beserta dengan 3 orang temannya. Teman tersebut akan tiba sekitar pukul 3 sore, tgl 25 Desember di Kerinci. Sedangkan untuk paginya saya akan ditemani oleh salah seorang penduduk asli, mahasiswi semester akhir. Dia adalah teman dari temannya adek sepupu saya. Pagi sekitar jam 8, Feni datang ke Hotel. Setelah berdiskusi, kita akhirnya memutuskan untuk pergi ke Perkebunan Teh di Kayu Aro. Kayu aro adalah kecamatan di kabupaten Kerinci yang berbatasan dengan Sumatra Barat. Kebun teh disini dikelola oleh Perusahaan dan banyak produknya yang diekspor. Luasan kebun teh disini sekitar 3.500 Ha, dan tehnya sudah berumur 70 tahunan. Teh ini sudah ditanam sejak Zaman Belanda dulu.
Di Sungai penuh, suhu udara masih relatif panas tetapi setelah menempuh kurang lebih 30 menit perjalanan dengan Sepeda motor, saya mulai merasakan dingin dan tangan saya terasa beku. Akhirnya saya meminta Feni untuk menghentikan motornya disalah satu warung lontong pecel di pinggir jalan. Saya memesan teh kayu aro yang terkenal itu untuk menghangatkan badan. Teh Panaspun datang dan saya yang sudah kedinginan segera meneguknya. Teh segar itu menghangatkan badan saya. Perut saya mengirimkan sinyal tanda lapar. Saya belum sarapan pagi dan aroma kacang dari sambel pecelnya sangat tajam, yang pasti enak. Sambil makan, saya melanjutkan mengobrol-ngobrol dengan Feni. Dia bercerita kalau dia seang menyelesaikan skripsinya. Dia kuliah disalah satu universitas di Jambi. Saya sedikit kaget namun kagum ketika dia bilang bahwa hobby-nya mendaki gunung dan sudah beberapa kali mendaki gunung Kerinci, dan beberapa gunung lainnya di Jambi. Saya sungguh takjub, dan melihat penampilannya, saya sempat tidak yakin. Dandanan Feni sangat feminin, dia rapi, bersih dan cantik. Sedikit berbeda dengan steorotip anak pencinta alam/ pendaki gunung pada umumnya.
Setelah perut kenyang, saya dan Feni kembali melanjutkan perjalanan.
Hanya hitungan beberapa menit dari warung tempat saya minum teh Kayu Aro tadi, saya dibuat terkagum-kagum oleh hamparan hijau didepan saya. Kebun teh yang membentang disisi kiri dan kanan jalan. Kebun teh tersebut tertata rapi dan berada diperbukitan. Keindahan yang tidak bisa dilukiskan. Pemandangan tersebut menjadi semakin menakjubkan dengan sekumpulan awan dan langit biru yang mengambang diatas perkebunan teh tersebut.Batas antara awan dan kebun teh sangat tipis. Berdiri disana bagaikan berada di negri diatas awan. Awalnya saya berniat berhenti untuk mengambil foto, namun kata Feni, tujuan utama kita adalah Air Terjun, Telun Berasap. Jadi sebaiknya foto-foto dan jalan-jalan ke Kebun teh pas perjalanan pulang saja. Saya setuju dengan ide Feni, sehingga kita kembali melanjutkan perjalanan. Feni menjelaskan bahwa air terjun tersebun terlihat seperti asap, yang mungkin karena itu namanya menjadi Telum Berasap. Air terjun tersebut biasanya selalu dihiasi pelangi. Sekitar kurang lebih pukul 11 kita sampai disana. Setelah membayar karcis masuk sebesar Rp 6.000 untuk berdua, kitapun masuk ke dalam. Tempatnya sangat menyenangkan, dikelilingi oleh taman nasional kerinci, pemandangan sungai, hutan yang asri, dan tentunya udara sejuk segar. Setelah berjalan kaki kurang lebih 10 menit menuruni tangga, kami akhirnya tiba di air terjun tersebut. Air terjunnya besar, dan mungkin karena tekanan air yang tinggi, sehingga air yang jatuh kebawah berubah menjadi seperti asap yang bergerak perlahan naik keatas.
Sayangnya air berwarna coklat, hal ini dikarenakan hujan yang turun semalam dan juga tidak ada pelangi. Meskipun demikian, air terjun ini tetap menarik. Saya tidak bisa membayangkan jika saya kesana ketika cuacanya cerah, dan air terjun tersebut dihiasai pelangi, indahnya akan menjadi sulit untuk dijelaskan. Konon, dibalik air terjun tersebut terdapat goa. Namun tidak ada yang bisa masuk kesana. Di lokasi air terjun juga tidak bisa mandi, mungkin karena tekanan air tadi. Tak jauh dari air terjun tersebut, terdapat air terjun lainnya. Ukurannya lebih kecil. Di Kerinci ada banyak air terjun. Dan jika dihitung air terjun yang ada diperbukitan dan dipergunungan maka jumlahnya akan sangat banyak. Air terjun tersebut bahkan ada yang belum ditemukan, atau hanya didatangi oleh segelintir petualang dan penjelajah. Setelah kurang lebih 15 menit di air terjun, kita kembali melanjutkan perjalanan.
Feni menawarkan untuk melihat pemandangan di sekitar pintu rimba Gunung Tujuh, atau pintu rimba Gunung Kerinci. Saya memilih untuk ke Pintu Rimba Gunung Kerinci saja. Baru beberapa menit mengendarai motor, hujan turun dan sinar mentari menghilang. Hujan turun perlahan, awalnya cuma gerimis, namun akhirnya menjadi lebat. Kami memutuskan untuk berhenti. Feni menawarkan untuk berhenti di warung bakso saja. Sekaligus makan siang. Jauh-jauh datang ke Kerinci kok malah makannya mie bakso?tapi mungkin karena dingin dan kami membutuhkan makanan yang panas. Tak Jauh dari warung bakso, ada tukang jual durian. Duriannya tidak banyak, lagian kerinci juga bukan daerah yang terkenal dengan duriannya, namun entah kenapa kaki saya melangkah mendekati tukang durian tersebut. Setelah tawar menawar saya mendapatkan durian kecil dengan harga Rp. 7000. Durian tersebut langsung dibuka di buka ditempat, dan dibawa ke warung bakso. Durian adalah menu makanan penutup setelah makan bakso. Cukup menyenangkan.