Nina siang itu sedang bersedih. Dia ingin membeli rumah. Dia sudah capek berbagi rumah dengan orang lain. Dia membutuhkan privasi. Sekarang dia tinggal di Dublin, dan kemungkinan besar tidak lagi akan berpindah. Umurnya sudah 35, untuk mendapatkan pekerjaan baru tidaklah hal yang mudah baginya. Meski dia tidak menyukai atasannya, tetapi dia dapat bertahan. Hal yang membuat dia bertahan adalah demi mewujudkan rumah mungil di tepi pantai yang menjadi mimpinya semenjak remaja.
Setelah 1.5 dekade bekerja, dia berhasil menyisihkan uang. Tetapi ternyata, uangnya tidak cukup untuk membeli rumah yang ia inginkan. Tetapi andai saja dia memiliki suami, dengan pendapatan gabungan, rumah yang dia incar dengan mudah bisa dia miliki. Kesendirian sudah tidak lagi mengganggunya, tetapi fakta bahwa dia harus memiliki pasangan yang juga bekerja untuk mendapatkan rumah impiannya, membuatnya kembali bersedih. Iya, coba saja dia memiliki pasangan yang juga bekerja, hidupnya tentunya akan lebih mudah.
Dia memutuskan untuk mencurahkan rasa galaunya kepada temannya Fera, di Jakarta. Fera adalah teman yang selalu ada untuknya. Berbeda dengan teman-temannya di Dublin atau teman lainnya yang hampir tidak pernah punya waktu untuknya.
Diapun mengirimkan pesan di what’s up kepada Fera.
“Fera, jika tidak sibuk, nanti jam 5 waktu Jakarta, kita skype-an yuk?”
Dia tersenyum lega, ketika mendapat balasan dari Fera.
“Ok. Bisa”
Dia dengan Fera memiliki latar berbeda. Dia sebagai orang Irlandia, sangat berbeda dengan Fera yang orang Indonesia. Indonesia dan Irlandia tidak sama. Tetapi terlepas dari banyak perbedaan, dia juga memiliki banyak kesamaan. Persahabatannya dengan Fera sudah teruji waktu. Mereka sudah berteman selama lebih kurang 10 tahun.
Selama 10 tahun itu, minimal mereka akan berkirim surat elektronik (email) sebanyak dua kali setiap bulannya, dan berbicara via skype minimal satu kali dalam dua bulan.
Fera sudah mengenal semua keluarga Nina. Dalam kunjungannya ke Irlandia, dia bertemu dengan kakak, adik, dan mama Nina. Nina belum pernah berkunjung ke Indonesia, dan dia tidak banyak mengenal mengenai keluarga Fera. Fera tidak banyak bercerita mengenai keluarganya. Meski sebelumnya, ketika mereka baru berteman, Fera sempat memperlihatkan foto keluarganya. Fera tidak memiliki saudara, dia merupakan anak satu-satunya. Dia sangat saying dengan papa-nya, bagi Fera, papanya adalah papa terbaik sedunia, sebaliknya, dia tidak suka dengan mama-nya, baginya, mama-nya adalah perempuan yang paling sulit dimengerti sedunia.
Itulah salah satu kesamaan Nina dan Fera. Nina juga tidak begitu menyukai mama-nya. Mamanya sangat keras, suka mengatur, dan selalu merendahkan capaiannya. Apa yang dia lakukan tidak pernah membuat mamanya puas. Sebaliknya, papanya begitu penyayang dan penyabar. Dialah yang selalu mengembalikan senyum Nina setiap sehabis berdebat dengan mama-nya. Sekarang papa-nya tidak ada, dan hal itu membuat dia semakin jauh dari mama-nya. Mama nina masih belum berubah. Jika dulu, Nina masih suka berkunjung ke rumah orang tuanya, itu karena papa-nya masih ada. Dia tidak takut berdebat dengan mama-nya, karena papanya pasti akan membela dia, dan juga akan menghiburnya.
Nina kagum dengan papa-nya. Papanya tidak pernah terganggu dengan sifat mamanya yang sangat otoriter. Mamanya juga suka mengeluarkan komentar yang tidak penting, yang membuat hati sakit, tetapi hal itu tidak pernah mengganggu papanya. Sebaliknya, papanya justru selalu bisa membuat mama-nya tersenyum. Papanya tidak pernah mempermasalahkan hal-hal kecil. Papanya berjiwa besar.
Ketika papanya baru meninggal, Nina tinggal menemani mamanya selama tiga hari. Mamanya sangat terpukul. Dia mengakui kesabaran suaminya, dan seumur hidup tidak pernah menjumpai laki-laki sebaik dan sesabar papa Nina. Jika saja dia menikah bukan dengan papa Nina, pasti dia sudah lama bercerai. Dia mengakui, bahwa tidak aka nada laki-laki yang tahan dengannya.
Terlepas dari karakter sulitnya, mama Nina adalah sosok yang beruntung. Ia menemukan pasangan yang sangat mencintainya. Menerima dia dengan segala kelemahannya. Dan menyayangi dia dengan tulus tanpa pamrih. Nina tidak seberuntung mamanya. Hubungannya tidak pernah bertahan lama. Beberapa laki-laki yang ia cintai menyakiti hatinya dan meninggalkannya.
Di Usianya sekarang, yang ia inginkan hanya menikah, dan memiliki anak. Nina sangat ingin memiliki anak. Tetapi dia juga tidak mau menjadi single parent. Single parent adalah bunuh diri, secara keuangan dia tidak akan siap. Jika dia memiliki anak, dia menginginkan ada seseorang disamping-nya untuk berbagi pekerjaan dalam mengasuh anak. Mengasuh anak sendiri pastinya tidak mudah.
Bayangan rumah kecil, suami, anak, pantai, terus menghias mimpinya. Sebelumnya, dia akan menunggu pangerannya datang dulu, baru setelah itu memiliki rumah dan anak. Tetapi setelah lama menunggu, akhirnya dia memilih untuk mengangsur mimpinya, yaitu dengan memiliki rumah mungil ditepi pantai. Namun ketika mengajukan kredit untuk membeli rumah yang dia impikan, ternyata, tabungan dan gajinya tidak bisa meyakinkan pihak Bank. Bank menyarankan agar dia membeli apartemen studio saja.
Nina sedang galau, banyak hal yang menganggu pikirannya. Dia tidak sabar untuk menunggu bisa berbicara dengan Fera, sahabatnya.