Di akhir tahun kemarin, ketika sedang banyak diskon natal, saya membeli sebuah sepatu trekking. Sepatu Columbia Yama Swift. Sepatu tersebut sangat cantik, ringan, dan juga nyaman. Harga sepatu tersebut adalah 1.5 juta lebih, dan saya beruntung, karena sepatu tersebut di diskon 50%. Setelah membayar sepatu tersebut, saya baru menyesal. Saya menyesal karena saya sudah berjanji kalau saya akan mengurangi aktivitas outdoor saya. Tetapi membeli sepatu trekking baru, yang juga tidak murah, tentu saja bertentangan dengan niat awal saya tersebut.
Satu bulan berlalu, sepatu saya masih berbungkus rapi. Sepatu tersebut masih belum saya pakai. Sol sepatu tersebut didisain khusus untuk trekking, untuk trek dengan permukaan yang tidak rata, dengan kata lain, sepatu baru saya tidak mungkin saya pakai untuk gym. Saya secara rutin berolahraga di Gym. Di Gym, saya sering menggunakan gradien pada treadmill, secara bertahap, gradien saya set hingga akhirnya mencapai angka 15, angka yang tertinggi. Hal ini menjadikan saya trekking di gym, yang jika di bandingkan dengan trekking asli di alam, kurang lebih saya berjalan dengan tanjakan sekitar 30 derjat. Tidak terlalu miring, tetapi cukup membuat efek seperti halnya trekking beneran. Bagaimanapun trekking di gym bagi saya lebih hemat dari segi uang dan juga dari segi waktu. Saya sudah membayar membership gym satu tahun, sehingga jika saya memiliki waktu luang, saya lebih memilih berolah raga di gym dibandingkan di alam (naik gunung dan sejenisnya).
Sayapun mulai lupa dengan sepatu Columbia tersebut. Sepatu tersimpan rapi. Liburan tahun baru saya habiskan di pantai, berenang dan snorkelling, sepatu tersebut tersimpan rapi di lemari tak tersentuh. Hingga pertengahan Januari, teman saya Monika, mengirimkan pesan lewat what’s up mengajak saya untuk melakukan pendakian ke gunung halimun. Saya menolaknya. Alasan pertama, karena di bulan yang sama saya sudah menghabiskan jutaan untuk liburan, sehingga saya membutuhkan waktu untuk memulihkan dompet yang menipis. Alasan kedua, seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, saya ingin mengurangi travelling saya. Saya ingin menjadi manusia normal yang bahagia tinggal di rumah menonton TV atau jalan-jalan ke mall. Backpacking, adventuring, trekking, climbing, snorkelling, hanya cari capek saja. Tetapi benarkah?
Monika tidak menyerah, secara berkala dia menanyakan kembali jawaban saya, secara perlahan dia membujuk saya. “Sepatu Columbia kemarin apa kabar?” tanyanya membuka percakapan lewat telfon suatu waktu.
“Baik, dia beristirahat dengan nyaman di lemari” jawab saya.
“Ngga pengin ngetest, katanya sepatu tersebut keren dan nyaman banget dipakai mendaki lo..”
“Sepatu tersebut ringan”
“Lagian kan juga sayang kalau barang yang sudah di beli tidak dipakai”
“Yuk ikut, ngga mahal kok… kita kan ada beberapa orang, sehingga ketika cost di share, kenanya ngga banyak-banyak banget, ekonomis”
Saya tergoda. Pertahanan saya goyah. Akhirnya iya, keluar dari mulut saya. Mumpung saya masih belum terlalu sibuk, saya menghibur diri. Sekaligus mencari inspirasi dan refreshing mengurangi stres, justifikasi lain menambahkan pembenaran. Dan akhirnya saya pergi.
Di hari Sabtu, hari yang sudah ditentukan, kita berkumpul. Sabtu jam 9 malam. Ketika saya sudah menaro ransel dan perlengkapan lain di mobil, teman saya kemudian bilang bahwa gunung halimun tutup, dia bicara dengan santai. “Terus?” tanya saya.
Dengan cuek dan santai dia memberikan jawaban pendek “kita cari gunung lain”
“Gunung apa?”
“Belum tahu”
Sempurna. Ya sudahlah, saya ngikut saja, yang penting naik gunung. Kami duduk menunggu rekan-rekan lainnya. Setelah semua berkumpul, kami berembuk, akhirnya Sebuah Gunung di Purwakarta dijadikan sebagai solusi pengganti. GUNUNG BURANGRANG. Tepatnya gunung ini berada di di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Bandung Utara.
Nama gunung yang tidak begitu populer. Bayangan jembatan gantung dan air terjun yang ada di kawasan gunung halimun langsung sirna. Hasil pencarian saya di google mengenai gunung Burangrang tidak begitu membahagiakan, gunungnya terlihat biasa saja. Ketinggian gunung ini adalah 2.050 mdpl. Kami melaju kesana. Kami tiba sekitar jam 1.30 malam. Tetapi begitu sampai di kaki gunung, di gerbang masuk, terdapat tanda kalau gunung ditutup untuk pendakian. Jika gunung halimun di tutup dengan alasan taman nasional lagi butuh perawatan, sedangkan gunung burangrang ditutup karena kopasus tengah latihan. Gunung burangrang adalah gunung yang sering dijadikan lokasi latihan kopasus. Apalagi habis kejadian teror bom di Jakarta beberapa hari lalu, sepertinya kopasus lebih giat berlatih untuk mengatasi teror sejenis jika terjadi lagi.
Kami mendiskusikan alternatif gunung lain, akhirnya pilihan jatuh pada gunung manglayang. Bukan pilihan yang lebih baik, tetapi dibandingkan naik gunung tangkupan perahu, yang nyaris tidak ada usaha pendakian (bisa sampai di puncak dengan mobil), maka gunung manglayang lebih baik. Sedikitnya pendakian ke gunung manglayang akan menguras tenaga, meneteskan keringat, membuat nafas tersengal, dan mungkin setelah itu, kami kram, nyeri dan pegal. Kita berhenti dulu di sebuah restoran, kita menghabiskan waktu dari jam 2 hingga jam 3 malam di restoran yang bernama cabe rawit itu. Dasar bandung, meski sudah tengah malam, restoran tersebut masih saja rame dengan yang namanya manusia. Baik laki-laki dan perempuan, mereka makan, bersantai, mengobrol, dan terlihat asyik dengan mata melek seakan siang hari saja, siang dan malam tidak ada beda.
Kami melanjutkan perjalanan. Kami berhenti di sebuah pasar tradisional untuk berbelanja bahan makanan yang akan dimasak di atas gunung nanti. Berbagai macam sayuran segar di jual dengan harga murah meriah, saya dan monika tergoda untuk membeli semua yang ada disana, untunglah kami sadar diri dan membeli hanya yang dibutuhkan dan yang dapat dihabiskan saja. Ikan asin, ikan segar, sayuran, cabe, tomat, minyak goreng, dan banyak lainnya. Kami kembali melanjutkan perjalanan. Sekitar jam 4 pagi kami tiba di kaki gunung manglayang. Kami menemukan sebuah rumah, yang juga menyewakan kamar dan menyediakan jasa parkir/ penitipan motor dan mobil. Tempat itu bernama paniisan. Ibu pemilik tempat tersebut sangat ramah, selain ramah dia juga lucu dan humoris, bahkan bisa dibilang “gaul”. Dia bisa memperkenalkan suaminya dalam bahasa inggris, dan bahkan dengan tidak malu-malu memanggil suaminya “darling”, mereka berdua adalah pasangan tua, teapi berjiwa muda, suami dari ibu tersebut meski pendiam, juga bisa menimpali humor ssi ibuk, dengan menjawan “yes babe” ketika istrinya memanggilnya dengan sebutan “darling”
Ibu tersebut sangat profesional, berbagai kebutuhan bekal untuk dibawa ke gunung, termasuk air aqua, di jual di warungnya. Ibu tersebut memiliki dua kamar, yang satu dilengkapi dengan springbed, yang satu hanya dengan karpet. Kamar tersebut sangat nyaman. Harga yang dia tawarkan juga sangat masuk akal, harga bisa di nego, masakan si ibu tersebut juga luar biasa enak.
Kami menyewa dua kamar untuk tidur beberapa jam, kami tidur dari jam 5 pagi hingga jam 7. Kemudian kami sarapan, dan bersiap-siap. Jam 9 kami memulai pendakian. Gunung Manglayang hanya memiliki ketinggian sekitar 1818 mdpl. Tetapi meskipun gunung tersebut tidak terlalu tinggi, dan lebih disarankan bagi para “pemula”, bagaimanapun untuk bisa sampai dipuncak, dibutuhkan fisik yang prima, terutama karena trek pendakian yang cukup terjal.
Di Indonesia naik gunung masih identik dengan kegiatan yang dilakukan oleh anak sekolah dan anak kuliah, dan ketika kita sudah bekerja, banyak yang tidak lagi menggeluti hobinya, dikarenakan oleh anggapan naik gunung adalah untuk anak muda.
Padahal di negara maju, naik gunung dilakukan oleh semua usia, bahkan usia paruh baya dan usia lanjut juga masih melakukan aktivitas trekking dan naik gunung. Kecintaan mereka terhadap alam tidak berkurang dengan semakin bertambahnya usia. Cinta terhadap alam tidak mengenal usia. Bagi orang Indonesia secara umum, ketika sudah berkeluarga, sudah memiliki anak, banyak yang tidak lagi yang menjaga kebugaran fisiknya, banyak yang menjadi obesitas, kelebihan berat, sehingga tidak memungkinkan lagi melakukan aktivitas fisik berat, termasuk naik gunung.
Padahal hidup tersebut harus seimbang. Menjaga kesehatan tubuh, akan menghindarkan kita dari berbagai macam penyakit. Hal ini yang masih kurang di negara berkembang seperti negara kita. Investasi untuk menjaga kebugaran dianggap tidak penting. Naik gunung tidak hanya menjadikan kita bugar secara fisik, tetapi juga menjadikan fikiran kita bugar. Jika kita memiliki tubuh dan fikiran yang sehat, maka kita akan menjadi manusia yang mampu bersaing, kita tidak akan lagi takut dengan wacana “MEA”.
Bersentuhan langsung dengan alam, mengingatkan kita betapa kita hanya bagian kecil dari hidup, Tuhan yang menciptakan alam jauh lebih berkuasa dari kita. Dengan kesadaran ini, kita akan menjadi pribadi yang lebih rendah hati, menghargai orang lain, dan juga menghargai kesederhanaan. Kita menyadari bahwa semua barang modern bukan tujuan dari hidup, bahwa kesederhanaan yang ditawarkan oleh alam juga dapat membuat kita bahagia. Tidak ada salahnya jika kita mengambil paket wisata mahal ke Australia, Eropa, Singapura, Malayasia, dan banyak lainnya, apalagi jika paket wisata tersebut dapat dicicil. Tetapi terlepas dari kemudahan cicilan, bukannya, hal tersebut akan menjadi beban bagi kita? Bagaimana kalau kita memperkenalkan wisata berbeda untuk keluarga, bagaimana kalau wisata yang dilakukan bersama keluarga adalah trekking, camping, atau naik gunung. Hal ini tentu sangat tergantung dari usia dan kekuatan fisik. Tetapi perlu diingat kalau kekuatan fisik bisa dibangun. Olah raga naik gunung identik dengan tantangan, sehingga ketika kita bisa melewati tantangan tersebut kita menjadi lebih percaya diri dalam hidup. Melakukan naik gunung bersama, akan meningkatkan kualitas hubungan antara sesama anggota keluarga. Hubungan yang selama ini renggang dikarenakan kesibukan dan juga gangguan teknologi modern akan diperbaiki ketika melakukan olah raga naik gunung. Menurut saya naik gunung harus menjadi bagian dari lifestyle. Banyak gunung yang bisa dijangkau dengan biaya murah dan tidak mahal.
Kembali lagi ke gunung manglayang, bagi saya yang sudah melakukan pendakian di beberapa gunung di Indonesia, manglayang tidak terlalu menarik, pemandangannya biasa saja. Tetapi bagaimanapun, setiap gunung memiliki keunikan, yang tidak bisa dibandingkan antara gunung yang satu dengan gunung yang lain, mereka memiliki daya tarik masing-masing. Hal yang menarik di Manglayang bagi saya adalah hutannya. Hutan dari puncak bayangan menuju puncak utama. Saya menikmati jalur trekking dari puncak bayangan ke puncak utama. Hutannya cukup rimbun, hijau, sejuk,dan menimbulkan rasa damai, tenang, dan tenteram. Puncak melayang juga unik menurut saya, berupa area terbuka rata yang dikelilingi oleh hutan pepohonan. Manglayang adalah gunung yang layak untuk didaki.
Bagaimana dengan Anda, suka naik gunung? Gunung apa saja yang sudah Anda daki? Atau Anda baru berencana naik gunung? Apa yang membuat Anda masih ragu. Jangan segan meninggalkan comment disini.