Berakhir pekan dengan mendaki gunung Manglayang


Di akhir tahun kemarin, ketika sedang banyak diskon natal, saya membeli sebuah sepatu trekking. Sepatu Columbia Yama Swift. Sepatu tersebut sangat cantik, ringan, dan juga nyaman.  Harga sepatu tersebut adalah 1.5 juta lebih, dan saya beruntung, karena sepatu tersebut di diskon 50%.    Setelah membayar sepatu tersebut, saya baru menyesal. Saya menyesal karena saya sudah berjanji kalau saya akan mengurangi aktivitas outdoor saya. Tetapi membeli sepatu trekking baru, yang juga tidak murah, tentu saja bertentangan dengan niat awal saya tersebut.

Satu bulan berlalu, sepatu saya masih berbungkus rapi.  Sepatu tersebut masih belum saya pakai.  Sol sepatu tersebut didisain khusus untuk trekking, untuk trek dengan permukaan yang tidak rata, dengan kata lain, sepatu baru saya tidak mungkin saya pakai untuk gym. Saya secara rutin berolahraga di Gym.  Di Gym, saya sering menggunakan gradien pada treadmill, secara bertahap, gradien saya set hingga akhirnya mencapai angka 15, angka yang tertinggi.  Hal ini menjadikan saya trekking di gym, yang jika di bandingkan dengan trekking asli di alam, kurang lebih saya berjalan dengan tanjakan sekitar 30 derjat.  Tidak terlalu miring, tetapi cukup membuat efek seperti halnya trekking beneran.  Bagaimanapun trekking di gym bagi saya lebih hemat dari segi uang dan juga dari segi waktu.  Saya sudah membayar membership gym satu tahun, sehingga jika saya memiliki waktu luang, saya lebih memilih berolah raga di gym dibandingkan di alam (naik gunung dan sejenisnya).

IMG_5903

Sayapun mulai lupa dengan sepatu Columbia tersebut.  Sepatu tersimpan rapi. Liburan tahun baru saya habiskan di pantai, berenang dan snorkelling, sepatu tersebut tersimpan rapi di lemari tak tersentuh.   Hingga pertengahan Januari, teman saya Monika, mengirimkan pesan lewat what’s up mengajak saya untuk melakukan pendakian ke gunung halimun.   Saya menolaknya. Alasan pertama, karena di bulan yang sama saya sudah menghabiskan jutaan untuk liburan, sehingga saya membutuhkan waktu untuk memulihkan dompet yang menipis. Alasan kedua, seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, saya ingin mengurangi travelling saya. Saya ingin menjadi manusia normal yang bahagia tinggal di rumah menonton TV atau jalan-jalan ke mall.  Backpacking, adventuring, trekking, climbing, snorkelling, hanya cari capek saja. Tetapi benarkah?

Monika tidak menyerah, secara berkala dia menanyakan kembali jawaban saya, secara perlahan dia membujuk saya. “Sepatu Columbia kemarin apa kabar?” tanyanya membuka percakapan lewat telfon suatu waktu.

“Baik, dia beristirahat dengan nyaman di lemari” jawab saya.

“Ngga pengin ngetest, katanya sepatu tersebut keren dan nyaman banget dipakai mendaki lo..”

“Sepatu tersebut ringan”

“Lagian kan juga sayang kalau barang yang sudah di beli tidak dipakai”

“Yuk ikut, ngga mahal kok… kita kan ada beberapa orang, sehingga ketika cost di share, kenanya ngga banyak-banyak banget, ekonomis”

Saya tergoda. Pertahanan saya goyah. Akhirnya iya, keluar dari mulut saya.  Mumpung saya masih belum terlalu sibuk, saya menghibur diri. Sekaligus mencari inspirasi dan refreshing mengurangi stres, justifikasi lain menambahkan pembenaran. Dan akhirnya saya pergi.

Di hari Sabtu, hari yang sudah ditentukan, kita berkumpul. Sabtu jam 9 malam. Ketika saya sudah menaro ransel dan perlengkapan lain di mobil, teman saya kemudian bilang bahwa gunung halimun tutup, dia bicara dengan santai. “Terus?” tanya saya.

Dengan cuek dan santai dia memberikan jawaban pendek “kita cari gunung lain”

“Gunung apa?”

“Belum tahu”

Sempurna. Ya sudahlah, saya ngikut saja, yang penting naik gunung. Kami duduk menunggu rekan-rekan lainnya. Setelah semua berkumpul, kami berembuk, akhirnya Sebuah Gunung di Purwakarta dijadikan sebagai solusi pengganti. GUNUNG BURANGRANG.  Tepatnya gunung ini berada di di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Bandung Utara.

Nama gunung yang tidak begitu populer.  Bayangan jembatan gantung dan air terjun yang ada di kawasan gunung halimun langsung sirna. Hasil pencarian saya di google mengenai gunung Burangrang tidak begitu membahagiakan, gunungnya terlihat biasa saja.  Ketinggian gunung ini adalah 2.050 mdpl.    Kami melaju kesana.   Kami tiba sekitar jam 1.30 malam.  Tetapi begitu sampai di kaki gunung, di gerbang masuk, terdapat tanda kalau gunung ditutup untuk pendakian.  Jika gunung halimun di tutup dengan alasan taman nasional lagi butuh perawatan, sedangkan gunung burangrang ditutup karena kopasus tengah latihan. Gunung burangrang adalah gunung yang sering dijadikan lokasi latihan kopasus. Apalagi habis kejadian teror bom di Jakarta beberapa hari lalu, sepertinya kopasus lebih giat berlatih untuk mengatasi teror sejenis jika terjadi lagi.

Kami mendiskusikan alternatif gunung lain, akhirnya pilihan jatuh pada gunung manglayang. Bukan pilihan yang lebih baik, tetapi dibandingkan naik gunung tangkupan perahu, yang nyaris tidak ada usaha pendakian (bisa sampai di puncak dengan mobil), maka gunung manglayang lebih baik. Sedikitnya pendakian ke gunung manglayang akan menguras tenaga, meneteskan keringat, membuat nafas tersengal, dan mungkin setelah itu, kami kram, nyeri dan pegal.   Kita berhenti dulu di sebuah restoran, kita menghabiskan waktu dari jam 2 hingga jam 3 malam di restoran yang bernama cabe rawit itu.   Dasar bandung, meski sudah tengah malam, restoran tersebut masih saja rame dengan yang namanya manusia. Baik laki-laki dan perempuan, mereka makan, bersantai, mengobrol, dan terlihat asyik dengan mata melek seakan siang hari saja, siang dan malam tidak ada beda.

IMG_5933

Kami melanjutkan perjalanan. Kami berhenti di sebuah pasar tradisional untuk berbelanja bahan makanan yang akan dimasak di atas gunung nanti.  Berbagai macam sayuran segar di jual dengan harga murah meriah, saya dan monika tergoda untuk membeli semua yang ada disana, untunglah kami sadar diri dan membeli hanya yang dibutuhkan dan yang dapat dihabiskan saja. Ikan asin, ikan segar, sayuran, cabe, tomat, minyak goreng, dan banyak lainnya.   Kami kembali melanjutkan perjalanan.  Sekitar jam 4 pagi kami tiba di kaki gunung manglayang.  Kami menemukan sebuah rumah, yang juga menyewakan kamar dan menyediakan jasa parkir/ penitipan motor dan mobil.   Tempat itu bernama paniisan. Ibu pemilik tempat tersebut sangat ramah, selain ramah dia juga lucu dan humoris, bahkan bisa dibilang “gaul”.  Dia bisa memperkenalkan suaminya dalam bahasa inggris, dan bahkan dengan tidak malu-malu memanggil suaminya “darling”, mereka berdua adalah pasangan tua, teapi berjiwa muda, suami dari ibu tersebut meski pendiam, juga bisa menimpali humor ssi ibuk, dengan menjawan “yes babe” ketika istrinya memanggilnya dengan sebutan “darling”

Ibu tersebut sangat profesional, berbagai kebutuhan bekal untuk dibawa ke gunung, termasuk air aqua, di jual di warungnya.   Ibu tersebut memiliki dua kamar, yang satu dilengkapi dengan springbed, yang satu hanya dengan karpet.  Kamar tersebut sangat nyaman.  Harga yang dia tawarkan juga sangat masuk akal, harga bisa di nego,  masakan si ibu tersebut juga luar biasa enak.

Kami menyewa dua kamar untuk tidur beberapa jam, kami tidur dari jam 5 pagi hingga jam 7.  Kemudian kami sarapan, dan bersiap-siap. Jam 9 kami memulai pendakian.  Gunung Manglayang hanya memiliki ketinggian sekitar 1818 mdpl.  Tetapi meskipun gunung tersebut tidak terlalu tinggi, dan lebih disarankan bagi para “pemula”, bagaimanapun untuk bisa sampai dipuncak, dibutuhkan fisik yang prima, terutama karena trek pendakian yang cukup terjal.

Di Indonesia naik gunung masih identik dengan kegiatan yang dilakukan oleh anak sekolah dan anak kuliah, dan ketika kita sudah bekerja, banyak yang tidak lagi menggeluti hobinya, dikarenakan oleh anggapan naik gunung adalah untuk anak muda.

Padahal di negara maju, naik gunung dilakukan oleh semua usia, bahkan usia paruh baya dan usia lanjut juga masih melakukan aktivitas trekking dan naik gunung.  Kecintaan mereka terhadap alam tidak berkurang dengan semakin bertambahnya usia. Cinta terhadap alam tidak mengenal usia.  Bagi orang Indonesia secara umum, ketika sudah berkeluarga, sudah memiliki anak, banyak yang tidak lagi yang menjaga kebugaran fisiknya, banyak yang menjadi obesitas, kelebihan berat, sehingga tidak memungkinkan lagi melakukan aktivitas fisik berat, termasuk naik gunung.

Padahal hidup tersebut harus seimbang.  Menjaga kesehatan tubuh, akan menghindarkan kita dari berbagai macam penyakit. Hal ini yang masih kurang di negara berkembang seperti negara kita. Investasi untuk menjaga kebugaran dianggap tidak penting.  Naik gunung tidak hanya menjadikan kita bugar secara fisik, tetapi juga menjadikan fikiran kita bugar.   Jika kita memiliki tubuh dan fikiran yang sehat, maka kita akan menjadi manusia yang mampu bersaing, kita tidak akan lagi takut dengan wacana “MEA”.

Bersentuhan langsung dengan alam, mengingatkan kita betapa kita hanya bagian kecil dari hidup, Tuhan yang menciptakan alam jauh lebih berkuasa dari kita.  Dengan kesadaran ini, kita akan menjadi pribadi yang lebih rendah hati, menghargai orang lain, dan juga menghargai kesederhanaan.  Kita menyadari bahwa semua barang modern bukan tujuan dari hidup, bahwa kesederhanaan yang ditawarkan oleh alam juga dapat membuat kita bahagia.  Tidak ada salahnya jika kita mengambil paket wisata mahal ke Australia, Eropa, Singapura, Malayasia, dan banyak lainnya, apalagi jika paket wisata tersebut dapat dicicil. Tetapi terlepas dari kemudahan cicilan, bukannya, hal tersebut akan menjadi beban bagi kita? Bagaimana kalau kita memperkenalkan wisata berbeda untuk keluarga, bagaimana kalau wisata yang dilakukan bersama keluarga adalah trekking, camping, atau naik gunung.  Hal ini tentu sangat tergantung dari usia dan kekuatan fisik. Tetapi perlu diingat kalau kekuatan fisik bisa dibangun. Olah raga naik gunung identik dengan tantangan, sehingga ketika kita bisa melewati tantangan tersebut kita menjadi lebih percaya diri dalam hidup. Melakukan naik gunung bersama, akan meningkatkan kualitas hubungan antara sesama anggota keluarga.  Hubungan yang selama ini renggang dikarenakan kesibukan dan juga gangguan teknologi modern akan diperbaiki ketika melakukan olah raga naik gunung.  Menurut saya naik gunung harus menjadi bagian dari lifestyle.  Banyak gunung yang bisa dijangkau dengan biaya murah dan tidak mahal.

Kembali lagi ke gunung manglayang, bagi saya yang sudah melakukan pendakian di beberapa gunung di Indonesia, manglayang tidak terlalu menarik, pemandangannya biasa saja.  Tetapi bagaimanapun, setiap gunung memiliki keunikan, yang tidak bisa dibandingkan antara gunung yang satu dengan gunung yang lain, mereka memiliki daya tarik masing-masing.  Hal yang menarik di Manglayang bagi saya adalah hutannya.  Hutan dari puncak bayangan menuju puncak utama.  Saya menikmati jalur trekking dari puncak bayangan ke puncak utama. Hutannya cukup rimbun, hijau, sejuk,dan menimbulkan rasa damai, tenang, dan tenteram.  Puncak melayang juga unik menurut saya, berupa area terbuka rata yang dikelilingi oleh hutan pepohonan.   Manglayang adalah gunung yang layak untuk didaki.

Bagaimana dengan Anda, suka naik gunung? Gunung apa saja yang sudah Anda daki? Atau Anda baru berencana naik gunung? Apa yang membuat Anda masih ragu.  Jangan segan meninggalkan comment disini.

 

Lensa Kehidupan


“Mau ngga kita nambah stay di Bali, extend?” Suara mba Tika terdengar bersemangat dari seberang telfon. Dia sedang di Bandara Adi Sucipto Hendak terbang ke Makasar. Ditengah kesibukannya yang tinggi dia menyempatkan menelfon Jenny.

Tika dan Jenny akan berada di Bali untuk urusan kantor masing-masing di tanggal yang sama. Suatu kebetulan. Dan Tika mengusulkan agar mereka menambah stay setelah urusan pekerjaan mereka kelar sehingga mereka bisa jalan-jalan. Mereka sudah berteman lama, dan sudah sering melakukan perjalanan bersama, baik yang direncanakan maupun secara kebetulan.

Jenny berfikir sejenak, baru kemudian menjawab “Bukannya kita sudah beberapa kali jalan-jalan ke Bali? Hampir semua objek wisata sepertinya sudah kita datangi kan?”

“Tapi ini Bali Jen. Kita bisa mengunjungi tempat yang sama, tetapi rasanya tidak akan pernah sama, selalu ada yang berbeda dan yang menarik. Lagian kita kan pergi dengan motor, kita bisa berhenti dimanapun jika kita melihat sesuatu yang menarik” Tika meyakinkan Jenny. Tika sedikit bingung kok bisa-bisanya Jenny menjawab seperti itu, bukankah Jenny terlahir kedunia untuk jalan-jalan? Dulu dia selalu berkata kalau hidup itu adalah petualang. Dan berpetualang bukan masalah destinasi, tetapi lebih ke proses, perjalanan itu sendiri. Jenny yang selama ini dikenalnya akan melakukan apapun untuk bisa jalan-jalan, dia tidak segan untuk mengeruk tabungan demi jalan-jalan.

Jenny kembali diam. Berfikir sedikit lebih lama dari sebelumnya. Mba Tika benar. Banyak hal menarik yang bisa dilihat di Bali. Bali bukanlah sekedar tanah lot, pantai kuta, gunung batur dan seterusnya. Tetapi setiap sudut di Bali akan selalu menarik untuk dikunjungi. Karena kita juga akan bertemu dengan masyarakatnya. Berkendaraan dengan motor kemudian berpapasan dengan perempuan yang mengenakan kebaya dari pura hanya bisa ditemukan di Bali. Tidak hanya perempuannya yang menarik, lelakinya juga, mengenakan busana tradisional khas Bali membuat mereka terlihat berbeda. Bentuk awan, besarnya ombak, warna langit, dan bentuk sunset tidak akan pernah sama di Tanah lot atau di Pantai Kuta. Lagian, selain tempat wisata populer dan banyak dikunjungi orang Bali juga memiliki banyak atraksi lainnya, atraksi yang masih alami yang masih jarang dikunjungi, yang akan membuat kita berdecak kagum dan mensyukuri karena keindahan alam ini masih milik Indonesia.

“Gimana, mau kan?” Suara Tika terdengar tidak sabaran.

Dia menambahkan. “Ayo cepetan, aku sudah dipanggil masuk pesawat nih, dan aku butuh jawaban segera, soalnya aku harus mengatur waktuku”

“Ok” jawaban itu langsung keluar.

“Sip, sudah dulu ya, sampai ketemu di Bali dua Minggu dari sekarang” Tika menutup telfon.

Jenny kembali menarik nafas. Ada apa dengan dirinya? Kemana semangat petualangnya?

Mungkinkah bertambahnya usia telah merubahnya? Atau kehidupan kota besar telah merubah cara pandangnya?

Jenny selama ini nyaman dengan hidupnya. Dia tidak khawatir dengan masa depan. Dia tidak memiliki banyak keinginan dalam hidup. Tujuan hidupnya sederhana,hidup cukup, jalan-jalan dan bermanfaat bagi orang lain. Tetapi belakangan dia kembali memikirkan tujuan tersebut. Benarkah itu semua cukup? Bagaimana dengan apartemen, mobil, pekerjaan tetap, asuransi, tabungan dan sejenisnya.

IMG_1765Karena naluri petualangnya, Jenny tidak mau mengambil pekerjaan tetap. Karena pekerjaan tetap hanya akan membuat dia terikat. Dia cukup beruntung karena dia bisa bekerja di Perusahaan asing yang memberikannya cuti sebanyak 22 hari dalam setahun, sedangkan jika dia bekerja di perusahaan dalam negri dia hanya akan mendapatkan cuti sebanyak 12 hari dalam setahun.   22 hari saja bagi Jenny tidak cukup, apalagi 12 hari. Sayangnya 22 hari juga tidak bisa diambil sekaligus. 22 hari harus diambil bertahap, maksimal yang bisa dia ambil dalam satu kali cuti hanya satu Minggu. Satu Minggu? Bagaimana mungkin bisa melakukan petualangan ke pedalaman Papua selama satu Minggu? Atau bagaimana mungkin dia bisa menjadi turis backpack ke India selama satu Minggu? Satu Minggu tidak cukup. Akhirnya Jenny mengundurkan diri dari pekerjaannya. Tabungan hasil kerjanya selama bertahun-tahun dia habiskan untuk jalan-jalan. Ketika uangnya kembali menitip, dia kembali bekerja. Dan begitu seterusnya. Dan dia telah melakukan itu selama hampir sepuluh tahun. Tetapi dia dulu muda, dan gesit. Dia dengan mudah mencari kerja dan meninggalkannya. Dia selalu memiliki cukup uang untuk jalan-jalan. Sekarang sudah berbeda. Dia sudah menginjak kepala tiga. Dan ini membuat dia takut. Generasi muda terus bermunculan, mereka tidak hanya pintar dan gesit, mereka juga bersedia dibayar lebih murah, bagaimana mungkin Jenny bisa bersaing dengan mereka. Dia merasa ini adalah saatnya untuk dewasa. Beberapa tawaran jalan-jalan sudah dia tolak. Dia meredam hasrat jalan-jalannya. Mending uangnya ditabung.

Tetapi ternyata Tika berhasil merubah fikirannya.

“Ah masa bodoh, Bali tunggu aku”. Jenny bergumam pelan.

***

Jenny menginap di hotel kecil di daerah Sanur.   Meski fasilitasnya sederhana tetapi hotelnya persis di dekat pantai, dari dalam kamarnya dia bisa mendengar jelas suara ombak. Dia harus merogoh kocek 250 ribu per malam, padahal kamarnya hanya menggunakan Fan. Tetapi ya sudahlah, setidaknya dia masih mendapat sarapan.

IMG_1627Restoran hotel pagi itu sepi. Hanya terlihat petugas hotel dan satu orang turis asing. Jenny memesan nasi goreng dengan telur ceplok dan satu cangkir kopi panas. Petugas hotel melayaninya dengan ramah.

Dia tengah membalas sms Tika, ketika turis asing yang tadi dia lihat, duduk disebelah mejanya dan menyapa ramah.

“Halo, how are you?”

“I am fine. How about you?”

Mendengar Jenny membalas sapaannya dalam bahasa Inggris, turis tersebut menjadi bersemangat. Diapun bercerita mengenai dirinya. Dia sudah tiga bulan tinggal di Bali. Dia berasal dari Denmark. Dia mengatakan pada Jenny kalau dia sangat suka Bali. Dan dia berharap kalau dia bisa tinggal lebih lama. Dia menanyakan kalau apakah Jenny bisa mencarikannya pekerjaan, atau mungkin mengetahui informasi bagaimana cara dia bisa menjadi guru bahasa Inggris di Bali. Jenny menjawab kalau dia tidak tahu, dia tidak bisa membantu.

Iseng Jenny bertanya kenapa dia mau tinggal di Indonesia sedangkan banyak orang Indonesia malah berharap bisa tinggal di negara Eropa, apalagi negara seperti Denmark. Turis yang mengaku bernama Krishna (tetapi berkulit putih dan berambut pirang) mengatakan kalau yang dia suka mengenai Bali adalah senyum dan keramahannya, hal yang tidak dia temui lagi di negrinya, dan dia juga suka dengan spiritualitas masyarakatnya. Dia mengatakan kalau di Denmark orang-orang telah membunuh tuhan, dan orang-orang lebih memikirkan diri mereka sendiri.

Jenny menggeleng kepala, hidup itu memang ironis. Orang yang tinggal di negara berkembang ingin merasakan hidup di negara maju, dan sebaliknya banyak juga orang di negara maju ingin hidup di negara berkembang. Di Indonesia, bahkan dirinya sendiri, suka sebel kenapa sih orang Indonesia rese banget mengurusi orang lain bukannya mengurus diri sendiri, seperti ngga ada kerjaan lain saja. Sebaliknya Krisna malah mengeluhkan kalau masyarakat di Negrinya tidak lagi peduli dengan orang lain dan hanya mengurus diri mereka sendiri.

Percakaan ringan dengan Khrisna sedikit membuka matanya. Bahwa hiduplah saat ini, jangan mengkhawatirkan masa depan. Tidak ada kehidupan yang sempurna. Dengan pilihannya sekarang Jenny tidak pernah hidup kekurangan, kebutuhannya tercukupi. Dia memang tidak punya rumah, tetapi dia masih bisa tinggal dengan membayar sewa. Dia tetap merasa kalau memiliki rumah penting, dan dia membayangkan rumah sederhana, rumah yang pasti bisa dia beli, hanya tinggal menunggu waktu saja. Dan dia tidak ingin menghentikan hobby jalannya, begitu banyak pelajaran hidup yang dia dapatkan selama ini dalam setiap perjalanannya. Pelajaran yang membuat dia bersyukur, yang membuat dia memiliki kepedulian sosial, dan membuat dia menjadi lebih bijak.

Dia mengakhiri obrolannya dengan Khrisna ketika Tika menghampiri mejanya. Tika tinggal di rumah sahabatnya. Dia memiliki teman dimana-mana, hanya saja rumah teman Tika sempit, teman Tika juga memiliki banyak anak, sehingga Jenny tidak bisa ikut menumpang disana, lagian Jenny juga belum kenal.

“Bagaimana, siap untuk memulai petualangan hari ini?” Tanya Tika tersenyum sambil menyerahkan helm.

Jenny menerima helm tersebut “YUP, Siap!!” dia menerima helm tersebut sambil tersenyum.

IMG_1619 IMG_1788 IMG_1785   IMG_1690

***

Perjalanan ini….


Saya memiliki seorang ponakan yang berumur 3 tahunan. Bermain bersamanya membuat saya tertawa riang, hati senang, pikiran tenang.  Ponakan yang lincah, pintar dan lucu, ponakan yang sering saya tinggalkan karena tantenya ini adalah seorang pengembara yang selalu bepergian.

Melihat dia tumbuh menjadi besar, mengingatkan saya betapa cepat waktu berlalu.  Ponakan kecil itu, adalah anak dari kakak saya.  Kakak saya sekarang sudah menjadi seorang ibu. Dia sudah disibukan dengan pemikiran dewasanya membangun keluarga kecilnya yang bahagia dan berkecukupan. Dia bukan lagi kakak yang saya kenal 10 tahun yang lalu. Waktu berlalu, dan waktu telah merubah semuanya.

Lucu. Di sisi anak kecil 3 tahun inilah saya belajar mengenai menjadi dewasa.  Ternyata untuk seorang perempuan di usia akhir 20an yang sudah menjelajah banyak tempat, saya masih berfikiran kekanakan dan naif.

Apa itu dewasa? Dewasa adalah ketika kita bisa meredam emosi.  Ketika kita bisa berfikir menggunakan logika bukan meledak-ledak dan impulsif.  Dewasa ketika kita bisa melihat dunia lain di luar dunia yang kita kenal. Dewasa adalah ketika kita bisa mendengarkan pikiran dan pandangan orang lain. Dewasa adalah ketika kita jiwa ini tidak lagi bergejolak, tetapi bisa tersenyum dan tenang dan melihat persoalan dari berbagai sudut pandang. Menjadi dewasa adalah tidak menjadi egois, memiliki toleransi, dan menjalani kehidupan dengan tenang… Menjadi dewasa adalah menjadi arif, bijak, dan memiliki pendirian.

Orang bilang kalau waktu akan menyembuhkan.

Orang bilang kalau waktu akan mendewasakan.

Kedewasaan ini, apakah produk dari jarak dan waktu? Benarkah waktu, engkau sehebat itu? Benarkah kau sehebat seperti yang digambarkan?

Dimana semua kegelisahan masa remaja dulu?

Dimana semua sifat pemberontakan dulu?

Dimana semua amarah?

Waktu, kau telah merubah segalanya. Kau telah merubahku.

Waktu, kau telah menjadikan aku lebih dewasa. Kau telah meneduhkan hujan badai. Kau telah menenangkan gelombang pasang di dada ini, tetapi kau juga telah membuat kaki ini berhenti melangkah….

Dimana kekuatan itu. Dimana gejolak itu. Dimana semangat membara. Dimana sifat ksatria. Dimana jiwa pahlawan….

Waktu, kau telah merubah zaman. Kau merubah nilai-nilai. Kau merubah peradapan.

Sekarang, kau bujuk aku dengan seorang ponakan mungil, lugu, pintar, menggemaskan. Ponakan yang membuat aku kehilangan minat untuk kembali mengepak tas, memasang sepatu dan melangkah pergi menjelajahi alam semesta ciptaan yang maha agung ini. Kaki ini beku. Kaki ini tidak lagi bisa bergerak. Bara di hati juga sudah padam. Dan jiwa pahlawan yang selama ini aku banggakan perlahan juga mati dihisap habis oleh roda waktu.

Apa yang kau cari?

Apakah canda tawa ini tidak cukup?

Apakah semua yang kau miliki ini tidak cukup?

Kau tidak kekurangan, yang kau butuhkan hanya menggantungkan sepatu dan berhenti berjalan…

Lihatlah, dunia telah berubah. Lihatlah segala sesuatunya tidak lagi sama.

Kembalilah… pulanglah…

Cinta… cinta itu ibarat buah simalakama. Dia menawarkan rasa manis dan juga pahit.  Rasa yang silih berganti. Cinta bisa menjadi benci, benci bisa menjadi cinta. Cinta bisa menjadi kelemahan. Cinta bisa menjadi kekuatan.

Pastinya… cinta itu sekarang membuat saya menjadi lemah.

Saya telah berjalan terlalu cepat…

Saya butuh untuk melambat, berhenti…

Iya tuan waktu. Saya sekarang berhenti. Saya sudah menginjak rem dari perjalanan panjang selama 7 tahun ini.  Sekarang saya diam. Saya berfikir, berefleksi, dan menimbang semua kekalahan dan kemenangan dalam hidup ini….

Apakah saya telah kalah…..

Apakah saya telah menang….

Hanya saya yang bisa menjawabnya……

Ah, sebentarlagi saya akan memasuki babak usia baru. Usia yang tidak lagi bisa dibilang muda…..waktu, saya baru sadar kalau kamu berjalan begitu cepat… kamu terus melangkah maju tanpa bisa dihentikan…

Ponakan saya beberapa tahun yang lalu masih bayi…Beberapa tahun yang lalu dia masih belum bisa berjalan…Dia belum bisa berbicara, dia belum bisa bernyanyi…

Lihatlah dia sekarang…. Dia begitu lincah.

Dia bernyanyi dan menari. Dia berlari kesana dan kemari.

Saya menghentikan langkah ini, hanya bisa menghabiskan waktu bersamanya…

Saya tahu, satu tahun lagi, dia akan beranjak dewasa….Dia tidak lagi menjadi sosok lucu seperti dia yang sekarang….

Saya menggantungkan sepatu, juga agar bisa menghabiskan waktu.  Menemani orang tua yang sekarang tidak lagi muda. Saat ini mereka sehat dan bugar, tetapi tuan waktu akan merubah semuanya.

Tahun depan, rumah ini, rumah dimana saya menghabiskan masa kecil pastinya akan berubah. Kakak saya bersama keluarga kecilnya akan pindah ke rumah barunya.  Adek saya, setelah perjuangan panjang dan hampir di DO akan memulai petualangannya.  Rumah ini akan sepi. Waktu telah merubahnya….

Jika anda adalah pengembara seperti saya, ada baiknya juga berhenti. Menarik nafas menghitung apa yang sudah anda capai. Berhenti… agar bisa menikmati waktu bersama orang-orang yang anda cintai.  Berhenti untuk membuat peta baru. Berhenti untuk menyusun target baru. Berhenti untuk bersyukur. Berhenti untuk berpuas dengan banyak hal yang sudah anda raih. Berhenti untuk mengumpulkan tenaga. Berhenti untuk berbagi cerita. Karena….. waktu tidak pernah bergerak mundur. Waktu tidak pernah jalan ditempat.

Saya telah kalah dan saya telah menang. Dan saya akan terus bergerak maju tidak peduli kalah atau menang…….

Iya, saya akan melangkah maju.  Saya akan terus berjalan…

Tetapi untuk saat ini, saya akan merapatkan kapal, saya akan berlabuh, saya akan menghabiskan waktu dengan orang-orang yang saya kasihi…

Ohhh ponakan keciku, betapa engkau telah mencuri hatiku…

12/7/2013

 

Wamena- The Heart of Papua


???????????????????????????????Saya tidak bisa menggambarkan bahagia yang saya rasakan ketika akhirnya berhasil menginjakan kaki di jantung Papua ini.   Seperti ungkapan yang berasal dari bibir seorang teman “Pokoknya kamu harus ke Wamena, kamu belum ke Papua jikalau belum ke Wamena”.

Iya. Mimpi itu akhirnya terjawab. Tidak ada yang lebih indah dari pencapaian sebuah mimpi. Meski tidak sempat meneruskan perjalanan ke perkampungan jauh di daerah pedalaman dengan menggunakan pesawat MAF atau AMA, saya cukup merasa puas, saya berhasil menjelajahi daerah perkampungan di lembah Baliem.

Apa yang spesial dengan Wamena? Seorang teman pernah mengucapkan kalau kebanyakan orang yang datang ke Wamena tidak pernah pulang dengan utuh, banyak orang yang meninggalkan hatinya untuk Wamena.  Banyak tempat dengan pemandangan spektakuler di Dunia tetapi yang membuat Papua Wamena lebih spesial adalah selain keindahan alamnya, terdapat Honai dan Koteka.

Apa itu Honai? Honai adalah rumah masyarakat Papua yang beratapkan ilalang dan berdinding papan, dan berlantaikan tanah beralaskan rumput. Ukurannya tidak terlalu besar sekitar 3×3 atau 3×4 meter.  Dahulu Honai laki-laki dan perempuan dipisah, mereka tidak boleh tinggal di dalam satu Honai (rumah). Namun sekarang, khususnya keluarga muda, tidak lagi terpaku dengan aturan tersebut, banyak suami istri yang tinggal dalam satu rumah.

IMG_0095Trus, apa itu koteka? Koteka adalah sejenis kulit labu berbentuk memanjang yang menjadi penutup kemaluan laki-laki Papua.  Laki-laki Papua Wamena zaman dahulu (sekarang masih ada tetapi jumlahnya sangat sedikit) hanya menggunakan koteka. Mereka tidak mengenakan baju atau pakaian seperti yang anda kenal sekarang. Sementara perempuan Papua zaman dahulu tidak menggunakan baju dan penutup dada.

Bagaimanapun pembangunan terus melangkah pasti memasuki daerah-daerah pedalaman Papua. Arus modernisasi tidak lagi terelakan. Di beberapa kampung, Honai sudah tergantikan dengan rumah papan atau tembok beratapkan seng.   Saat ini jikalau anda berjalan-jalan di daerah perkampungan di lembah Baliem, anda masih akan menemukan laki-laki tua yang mengenakan koteka, tetapi mungkin 20 tahun lagi, pemandangan serupa tidak akan bisa lagi anda saksikan

Apakah mereka menyukai perubahan ini? Banyak masyarakat mengatakan iya. Pembangunan telah membawa beberapa kemudahan dalam kehidupan mereka.  Mereka menyukai adanya mobil sebagai alat transportasi dibanding dengan situasi dulu sewaktu mereka harus berjalan kaki.

When I grow up


Semasa kecil dahulu tentunya kita pernah membayangkan dewasanya hendak menjadi apa? Semenjak dari TK, saya sudah terbiasa mendengar pertanyaan ibu guru “anak-anak, cita-citanya mau jadi apa?” atau “Anak-anak nanti kalau sudah besar mau menjadi apa?”

Jawaban umum yang diberikan adalah “Mau jadi Dokter” atau ada juga “mau jadi presiden” dan tentu pula tak lupa “mau jadi guru”. Saya yakin kalau anak sekolah ditanyakan pertanyaan yang sama saat ini jawabannya akan kurang lebih sama. Seakan tidak ada profesi lain di dunia ini.

Bagaimana dengan anak SMU, jikalau mereka ditanyakan pertanyaan yang sama, tidak spontan seperti halnya jawaban anak SD, anak SMU mungkin akan berfikir sejenak. Iya, hendak mau jadi apa?

Terus bagaimana dengan anda yang sudah lulus dari bangku kuliah, atau anda yang saat ini tengah bekerja, apakah pertanyaan yang sama masih bisa ditanyakan ke anda? Apakah anda masih memiliki kesempatan untuk berfikir?

Sayangnya ketika dewasa kita kehilangan kebebasan dalam memilih.  Tak jarang banyak orang harus menjalankan satu profesi terlepas dari suka atau tidak suka. Itu lah hidup.  Menjadi dewasa artinya adalah menerima kehidupan. Menerima apa yang sudah menjadi jalan kebanyakan. Mengikuti arus dominan.

Sekarang jikalau ditanya ketika dewasa nanti mau jadi apa? Orang dewasa akan mengarahkan anaknya untuk menjawab menjadi orang yang memiliki banyak uang.  Iya, apapun jenis pekerjaan anda, anda harus memiliki uang. Uang memiliki nilai yang vital dimasa sekarang. Uang berarti sanjungan dan penghormatan. Tak jarang jumlah uang yang anda miliki akan menentukan kualitas layanan yang anda dapatkan. Terbang dengan pesawat merpati dan garuda adalah dua buah pengalaman terbang berbeda.  Melakukan perjalanan dengan kelas ekonomi, dan bisnis, anda akan mendapatkan kualitas layanan berbeda tidak peduli apakah itu pesawat udara, kapal laut, bis, atau kereta api.  Kita familiar dengan istilah ada uang ada barang.  Atau harga ngga bohong.  Apa yang kita dapatkan adalah apa yang kita bayarkan.

Terus apakah mungkin kita keluar dari arus mainstream tersebut. Bisakah kita menjalani hidup tanpa tekananan nilai-nilai materi atau mengikuti simbol kesuksesan lain?

Pernahkah anda menonton “Take me out Indonesia”, beberapa minggu lalu, saya meluangkan sedikit waktu dengan menonton beberapa episode Take me out Indonesia. Di dalam memilih pasangan, bagi perempuan pada umumnya, yang dilihat dari laki-laki adalah kemapanan, pekerjaan yang bagus.  Masalah tampang bisa diatur jikalau laki-laki tersebut mapan. Tentunya sudah sering kita mendengar hidup tanpa cinta saja tidak cukup.

Orang-orang yang menentang arus kebanyakan sering dianggap sebagai orang yang tidak realistis. Orang yang menolak menjadi dewasa.  Tak jarang orang yang mengikuti kata hatinya, harus menerima resiko tersisihkan dan terdiskriminasikan secara ekonomi. Namun tak jarang pula mereka bangkit, dan membuktikan bahwa mengikuti kata hati tidak selalu berarti menjadi orang yang tidak berkecukupan. Dan biasanya orang yang mengikuti kata hati dan memenangkan pertarungan dengan kesuksesan seperti halnya menurut standar mainstream merekalah orang-orang sukses sejati.

Saya termasuk orang yang tidak mengikuti jalur mainstream.  Tantangan yang hadapi? Tidak terhitung jumlahnya, tetapi satu hal yang membuat saya bangga dan terus tersenyum adalah, bahwa saya melakukan sesuatu yang saya impikan. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan di dalam hidup selain menjalani apa yang kita sukai. Dan kata yang paling ampuh, bahwa, saya baik-baik saja.  Mengikuti kata hati terkadang tidak seburuk yang kita bayangkan.

Saat ini anda mungkin tengah duduk dibelakang meja kantor menyelesaikan pekerjaan akhir tahun.  Dan mungkin nantinya sesampai di rumah anda akan merenungkan capaian anda selama tahun ini. Jangan lupa untuk menambahkan satu pertanyaan, apakah anda berada di jalur yang benar, apakah pekerjaan yang anda lakukan atau kehidupan yang sedang anda jalankan adalah hal yang anda inginkan?

Jika anda menemukan jawabannya, jangan takut untuk mengikutinya. Dengarkan kata hati, percayalah hati kecil anda tidak akan pernah salah.

Di atas langit ada langit


Diatas langit ada langit.  Umumnya orang-orang familiar dengan ungkapan tersebut.  Bahwa apapun yang kita capai dan kita raih saat ini, masih belum seberapa, banyak orang lain yang sudah mencapai lebih dari kita.  Ungkapan diatas akan dikait lagi dengan kebiasaan menulis di blog.  Ternyata banyak orang Indonesia yang menulis di blog dan berbagi cerita dari pangalaman hidupnya. Banyak dari cerita tersebut yang bermanfaat, kadang lucu, dan juga kadang inspiring. Artinya, apa yang saya tulis masih belum seberapa dibandingkan dengan banyak blogger lainnya. Hal ini menjadi motivasi bagi saya untuk bisa menulis lebih baik lagi, dan juga lebih kritis dan lebih tajam. Sehingga orang yang membaca tidak merasa boring, dan mengantuk.

Sungguh luar biasa, ternyata banyak blogger yang memiliki kemampuan menulis yang baik.  Saya tidak bisa membayangkan jika Internet tidak berkembang sepesat seperti sekarang.

Perkembangan teknologi informasi, tentu saja juga memiliki efek negatif.  Tidak ada yang 100 persen yang sempurna di dunia ini. Tetapi coba lihat hal yang positif seperti blogspot, multiply, dan wordpress.  Kalau dulu, untuk sebuah informasi mungkin saya harus membeli majalah (misal informasi terkait dengan wisata), buku, dan semua itu harganya mahal. Ya, harga informasi tidak murah jika sudah dibukukan atau dipatenkan.  Jika tidak sanggup membeli maka anda harus menyempatkan diri ke perpustakaan (namun seringnya, terutama jika anda bekerja, anda tidak punya cukup waktu).  Tetapi sekarang tidak kita perlu repot lagi.  Kita bisa mendapatkan informasi apapun dengan google di Internet. Dan Informasi yang tersaji di blog, adalah salah satu informasi yang menjadi rujukan saya.  Misal, informasi mengenai tempat wisata, atau informasi tiket promo, dan lain-lain.

Dengan adanya blog, kita bisa melihat bagaimana orang berjuang dalam hidupnya, dan betapa banyak hal yang sudah mereka lakukan. Anda bisa mengukur diri anda dari kesuksesan orang lain. Anda bisa belajar dari mereka, dan menjadi termotivasi untuk bisa menjadi lebih baik.  Biasanya jika penulis adalah perempuan dan sudah memiliki anak, maka dia cenderung akan menulis mengenai pengalaman terkait dengan anaknya. Tips gizi anak, jika anka sakit harus dibawa kemana, sekolah anak, dan hal-hal semacam itu.  Jika mereka perempuan lajang single, yang bekerja, biasanya isi blognya adalah mengenai bos, pekerjaan, hangout dengan teman, ke salon, belanja, dan berwisata dalam dan luar negri (tak lupa memajang foto-foto yang diambil dari tempat wisata tersebut).  Namun tidak semua perempuan menghabiskan waktunya untuk berbelanja, ada juga yang menghabiskan waktu luang dengan memasak, atau membaca buku, atau ikut wisata outdoor (namun persentasenya kecil).

Jika saya bepergian, saya cenderung menghindari kota besar.  Saya tidak terlalu tertarik dengan gemerlap kota. Saya akan puas jika saya bisa bepergian ke tempat terpencil dan bertemu dengan masyarakat lokal.  Sebelum ada blog, saya berfikir kalau saya adalah perempuan dengan hobi aneh, namun ketika saya membaca blog beberapa blogger perempuan lain, ternyata saya tidak sendiri.  Banyak juga perempuan di zaman sekarang yang hobi berpetualang. Dan ingat, ketika saya sebut ‘berpetualang’ itu bukanlah mengenai banyak tempat yang dikunjungi, foto-foto dan shopping, namun menjadi petualang adalah dengan melihat lebih dalam dari pada itu: budaya setempat, penduduk, dan banyak hal yang bisa diamati diluar objek wisata utama.

Jika saat ini jalan-jalan keliling asia tenggara menjadi trend, atau backpackers ke eropa juga sedang mulai di lirik, saya sendiri malah tertarik untuk mengunjungi negara Afrika.  Afrika yang mana? Yang pasti negara Afrika yang paling miskin, melihat kehidupan masyarakat pedesaan/ pertanian, dan syukur jika bisa tinggal di salah satu rumah penduduk setempat.  Lucu juga, kok saya tidak obses untuk berkunjung melihat menara Eifel di Paris, atau berkunjung ke Roma. Saya sendiri tidak tahu kenapa.  Mungkin naluri bawah sadar saya membisikkan kalau kantong saya tidak mencukupi untuk jalan-jalan ke sana kali ya, he he….

Pantai Pasir Putih Aceh


Beruntung karna kita hidup di zaman serba digital. Dengan kamera digital kita bisa mengabadikan banyak momen dan juga pemandangan indah yang pernah kita temui. Kita bisa melihat-lihatnya kembali sambil mengenang saat-saat indah tersebut. Coba bayangkan jika anda hidup di zaman penjajaha belanda dulu, tentu kita tidak akan bisa menyaksikan foto indah diatas.

Malam ini saya kembali melihat koleksi foto saya.  Dan saya teringat akan sebuah foto yang saya ambil senja hari di sebuah pantai pasir putih di banda aceh. Meskipun anda mengunjungi pantai yang sama, tapi tidak ada jaminan jika langit dan efek warna senja yang anda lihat akan sama.  kadang anda bisa melihat sunset atau warna senja yang luar biasa indah, ada kalanya juga pemandangan senja tersebut biasa saja. Jika anda sering ke pantai dan menyaksikan matahari tenggelam, anda akan menyadari perbedaan tersebut.  Atau lebih parahnya lagi, ada juga musim-musim dimana anda hanya bisa melihat awan, dan kegelapan, tanpa bisa melihat matahari tenggelam. Saya penyuka sunset, dimanapun saya berada jika saya bertemu dengan sunset maka saya selalu berdecak kagum. Saya sering hunting sunset di pantai pasir putir lampuuk dulu. Saya naik motor di sore hari, berpacu dengan waktu, berharap bisa melihat sunset.

Bagi anda yang pernah jalan-jalan ke Pantai lampuuk, anda akan setuju kalau pantai ini adalah salah satu pantai yang terindah di Indonesia. Sayangnya, berenang disini tidaklah aman karena ada arus yang bisa menarik anda masuk ke laut. Tetapi tetap saja anda bisa menemukan orang berenang di pantai ini. saya sendiri lebih suka lampuuk dari beberapa pantai yang pernah saya kunjungi: pantai anyer, parangtritis, cermin, pangandaran, pantai padang, pantai di kota mataram, pantai senggigi, kuta, sanur, pantai pasir putih manokwari, pantai plengkung di taman nasional, dan banyak pantai lainnya. Yang saya sukai dari lampuuk adalah pasir putih, tebing, dan deretan bukit yang membentang indah. Dan perpaduan warna ketika matahari tenggelam yang sangat memukau.  sampai dengan hari ini saya masih bisa merasakan keindahan dan juga kedamaian pantai tersebut.

Pemandangan pagi dan siang hari juga tidak kalah memukau.  Jika anda berkunjung ke Banda Aceh, maka pantai ini harus ada masukan sebagai salah satu list tempat yang wajib dikunjungi. sekitar 10 menit dari lampuuk anda bisa melanjutkan perjalanan ke pantai loknga.  Jika lampuuk adalah pantai berpasir putih, maka loknga adalah pantai berkarang. Disini anda bisa memancing. Dan jika nada beruntung anda akan membawa banyak ikan karang pulang. Jika anda ingin ketenangan dan pantai yang sunyi dan sepi maka waktu terbaik untuk mengunjungi pantai ini adalah hari senin-jumat. Sabtu pagi biasanya masih relatif sepi, namun sabtu sore sudah mulai ramai. Sedangkan minggu, pantai ini akan penuh dan juga sesak oleh pengunjung dari pagi hingga matahari tenggelam.

Jarak Pantai ini dari kota banda aceh adalah sekitar 40 menit dengan motor atau mobil.  kendaraan umum relatif jarang, jika anda ingin menikmati hembusan angin segar, dan memanjakan mata anda dengan hamparan sawah dan bukit maka saya sarankan agar anda merental motor.  Rental motor sekitar 80-100 ribu per hari.  Alternatif lain jika anda tidak memiliki kendaraan sendiri adalah dengan becak atau taksi.  Tarif becak dari kota, jika anda pintar menawar adalah sekitar 40-50 ribu pulang pergi, jika anda naik taksi, ongkosnya mungkin sekitar seratus PP dari kota.  Kendaraan umum, sejenis angkot di aceh di sebut labi-labi, anda bisa naik labi-labi jurusan loknga, ongkosnya sekitar 8- 10 ribuan (satu kali jalan).

Jurnal perjalanan seorang pendekar


Jika benar kisah pendekar itu pernah ada maka saya akan menganggap diri saya sebagai pendekar perempuan yang tak pernah lelah dan tidak gampang menyerah.

Saya ingat ketika dulu saya kecil saya pernah sangat menggandrungi film “Si buta dari goa hantu” atau saya juga pernah membaca buku cerita wiro sableng dan mendengar sandiwara radio yang bercerita tentang pendekar tangguh yang bernama Arya Kamandanu (kalau saya tidak salah).

Setelah membaca buku atau menonton film saya membayangkan diri saya menjadi salah satu karakter dalam film/cerita tersebut. Saya membayangkan menjadi pendekar wanita yang berkelana dengan menunggang kuda. Perasaan yang sama sempat saya rasakan ketika saya menonton Xena the worrior princess. Saya kagum dengan keahlian Xena dalam bertempur dan menaklukan lawan. Dia tidak mudah menyerah dan selalu memenangkan pertarungan.

Terus apakah keinginan saya menjadi pendekar terwujud? jawaban saya adalah iya. Tetapi saya tidak menjadi pendekar di zaman wiro sableng atau pendekar gua hantu. Saya menjadi pendekar di zaman sekarang. Saya berkelana tidak lagi menunggangi kuda putih, tetapi saya berkelanan dengan menaiki kapal terbang, bis, kereta api, sepeda motor, kapal, sampan, atau kendaraan apapun yang bisa membawa saya bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain. Saya bertempur melawan banyak hal, tetapi pertempuran tersebut tidak lagi menggunakan pedang.

Pertempuran yang saya hadapi sekarang jauh lebih tangguh. Saya bertempur melawan ketidakadilan dalam hidup ini melalui berbagai cara dengan menggunakan keahlian dan otak saya yang tak seberapa. Apakah saya puas? saya merasa puas karena berhasil mengerjakan apa yang saya inginkan, yaitu berkelana. Saya tidak tahu sampai kapan saya akan berkelana. Bisa jadi perjalanan ini adalah tanpa akhir. Saya baru saja memulainya. Sudah banyak para pejalan dan petualang sejati sebelum saya, mereka sudah menempuh ribuan mil dan sudah menundukan banyak tantangan dalam hidup ini.

Saya sangat menikmati ketika kendaraan yang saya tumpangi melaju kencang menuju bandara membelah keheningan subuh. Atau ketika saya berada diatas menatap awan sambil menyeruput kopi hangat. Saya juga menyukai ketika duduk di mobil dan melihat ke luar jendela mengamati pepohonan, pertokoan, dan orang-orang yang berada disisi jalan. Saya menikmati bepergian dari satu tempat ke tempat lain dan bertemu dengan beragam orang dengan latar adat istiadat yang berbeda.

Salah seorang teman saya bilang kalau saya harus memiliki jurnal perjalanan. Sehingga saya bisa bercerita kepada keturunan saya nanti. Tetapi sayang saya tidak terlalu bagus dengan hal tersebut. Saya sangat malas mencatat. Segala sesuatu yang saya lakukan sering berlalu begitu saja. Padahal begitu banyak cerita yang ingin dibagi, begitu banyak hal yang ingin saya ungkapkan. Pepatah arab yang mengatakan waktu itu bagaikan pedang sangat tepat. Waktu tersebut berlalu dengan cepat.

Bagi saya yang lebih suka menghabiskan waktunya dengan jalan-jalan, tidak memiliki harta yang bisa saya banggakan. Uang yang saya punya saya tukarkan menjadi tiket untuk terbang mengunjungi tempat yang belum pernah saya kunjungi. Harta saya hanya cerita dan kepuasan yang saya terima dari perjalanan yang sudah saya tempuh. Dan jika saya tidak memiliki jurnal perjalanan maka saya benar-benar tidak memiliki apa-apa lagi.

Biasanya saya merasa cocok jika saya bertemu dengan pejalan dan petualang sejati. Meskipun kita berasal dari latar belakang berbeda, namun biasanya kita akan langsung akrab. Saya merasakan banyak kesamaan sifat dengan teman-teman yang juga hobi berpetualang seperti saya. Saya berharap agar suatu saat nanti saya akan sampai di Nepal, di kaki gunung everest. Ya, hanya dikakinya saja. Saya tidak tertarik untuk naik. Saya tidak terlalu tangguh untuk naik keatas, dan saya cukup tahu diri dan tidak ingin mati sia-sia. Banyak tempat yang ingin saya kunjungi. Saya juga harus meningkatkan skill yang dibutuhkan untuk jalan.

Saya harus memperkuat fisik dengan rajin berolah raga dan juga memperluas ilmu saya mengenai travelling. Saya harus rajin baca dan mempersiapkan diri dengan segala resiko yang akan saya hadapi dalam perjalanan saya nanti.

Kawah Putih- Bandung


Meskipun anda bisa jalan-jalan sendiri, saya akan tetap menyarankan jika memungkinkan untuk pergi berdua. Terutama jika anda perempuan. Fakta bahwa masyarakat Indonesia umumnya masih sangat patriakal tidak bisa dikesampingkan. Berdasarkan pengalaman saya, terutama jika saya berjalan-jalan ke daerah pedesaan/pedalaman di Indonesia seorang diri, saya selalu mendapati tatapan bingung. Wajah tersebut menyiratkan kenapa si mba ini jalan-jalan ke desa terpencil seperti ini seorang diri. Ketika saya menginap di penginapan, saya sering ditanya ke daerah tersebut dalam rangka apa? dan jika saya menjawab saya pergi jalan-jalan, maka pertanyaan yang biasanya keluar selanjutnya adalah kok jalan-jalan sendiri? hal yang sama juga saya alami ketika saya naik ojek. Tukang ojek biasanya akan menanyakan mau kemana? kok sendiri aja? trus setelah itu, biasanya dia akan memberikan tarif yang lumayan tinggi. Tukang ojek tersebut, di bantu oleh tukang ojek lainnya, akan menambahkan cerita jika tarif ojek di daerah tersebut memang segitu. Dan kendaraan umum tidak ada. Trus biasanya mereka akan mengkerubuti, bisa satu atau bahkan lima orang.

Mereka akan mengorek informasi lainnya dari saya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah untuk memastikan seberapa jauh saya mengenal daerah tersebut, apakah saya sudah pesan penginapan atau belum, jika saya mau pergi ke daerah wisata apakah saya sudah memiliki kendaraan atau belum. Biasanya mereka akan terus mendesak saya hingga memberikan jawaban. Dengan alasan mereka peduli, dan mereka bisa memberikan saya informasi yang saya butuhkan.

Tetapi percayalah, jangan pernah menjawab pertanyaan tersebut. Saran saya menjauhlah dari mereka. Kadang kala hal ini agak sulit, terutama ketika mereka sudah langsung mengkerubuti kita sewaktu turun dari bis. Wajah asing kita akan langsung mereka kenali, kalau kita bukan berasal dari daerah tersebut. Hal ini mengukuhkan asumsi mereka bahwa kita adalah turis. Pengalaman saya ketika pergi ke Ciwidey-Bandung, saya terus di kejar oleh tukang ojek, bahkan ketika saya bilang kalau saya akan dijemput oleh teman, mereka tetap tidak mau meninggalkan saya. Bahkan ketika saya sedang membaca catatan saya, salah seorang dari tukang ojek tersebut langsung mengambilnya. Saya  menegur. Saya bilang kalau dia tidak boleh melihat apalagi sampai mengambil catatan saya tanpa seizin saya. Karena saya berhenti di terminal umum, maka saya hanya bisa melihat kerumanan orang, bis, angkot, dan tentu saja ojek. Bingung bagaimana cara lepas dari tukang ojek tersebut, akhirnya mata saya melihat sebuah toilet umum. Saya segera berlari ke dalam. Ketika saya keluar, tukang ojek tersebut sudah pergi. Saya bertanya ke tukang jaga toilet, jikalau saya hendak ke kawah putih, saya harus naik angkot warna apa? si tukang toilet bilang kalau angkot kesana sangat jarang. Dia menyarankan agar saya naik ojek saja.

Syukurnya saya sudah survei duluan. Berdasarkan informasi yang saya dapat, cukup banyak angkot yang menuju kesana. Hal yang saya notice adalah ternyata kekeluargaan dan juga persahabatan di terminal sangat kuat. Si tukang jaga toilet, melihat saya dikerubuti oleh tukang ojek dan berkemungkinan salah satu diantara mereka adalah teman si penjaga toilet tersebut. Atau bisa juga mereka akan mendapatkan komisi dari si tukang ojek tersebut jika saya jadi memakai jasa mereka.

Sayapun berlalu dari tempat tersebut. Saya segera berjalan menuju tempat pemberhentian angkot. Disitu, saya kembali menanyakan jika hendak ke Kawah Putih saya harus naik angkot yang mana? untunglah orang yang saya tanya tersebut tidak mengarahkan saya untuk naik ojek lagi. Dia mengantarkan saya ke salah satu angkot kuning jurusan Situ patenggang. Saya melihat supir angkot memberikan sejumlah recehan orang yg mengantarkan saya tersebut. Hanya ada saya dengan salah seorang bapak tua di angkot tersebut. Si bapak menegur saya dengan ramah, dan menanyakan tujuan saya. Saya bilang kalau saya akan pergi ke kawah putih. Dia kembali bertanya, kenapa saya pergi sendiri? bukannya menjawab saya bertanya balik kepada bapak tersebut “memang kenapa kalau sendiri?” si bapak tidak membahasnya lagi. Saya jadi merasa tidak enak. Si bapak tua tersebut baik dan sopan, dan seharusnya saya tidak berkata demikian.

Untuk menebus rasa bersalah saya, saya bertanya kepada bapak tersebut “bapak mau kemana?” si bapak kembali bersemangat dan menjawab “saya hendak mengambil gaji”. Si bapak menjelaskan kalau dia sudah akan pensiun dari perusahaan kebun teh tempat dia bekerja. Si bapak tersebut turun duluan, dan dia memberikan saran agar saya naik ojek saja keatas naik ke kawah, karena tidak ada angkot yang menuju kesana. Pemandangan yang saya lihat sepanjang jalan luar biasa indahnya. Awan dan langit biru, dan sawah-sawah yang bertingkat-tingkat mirip sebuah lukisan.

Setelah berkendara kurang lebih 15 menit, saya membaca plang Kawah Putih dan saya meminta agar angkotnya berhenti. Si supir angkot bukannya berhenti, dia terus melaju, dia bilang kenapa saya tidak ke situ patenggang saja. Dia menambahkan kalau kawah putih sudah ditutup selama dua minggu. Saya kesal dan dengan nada tinggi saya ngotot minta berhenti. Jika dia tahu kalau kawah tersebut tutup seharusnya dia memberitahukan itu kepada saya dari awal. Kenapa dia memberitahukan tersebut ketika saya sudah tiba di lokasi? Saya membayar ongkos sebesar 5000, dan si supir minta Rp 7000. saya bilang kalau berdasarkan info yang saya dapat ongkos angkot-nya hanya Rp. 5000, dia tetap ngotot untuk dibayar 7000, dan saya karena sudah malas berdebat, sayapun bayar Rp 7.000. Saya tidak percaya begitu saja informasi dari supir angkot tersebut, saya terus masuk menuju loket jual tiket. Ternyata kawah tersebut buka. Si penjual tiket membenarkan kalau kawasan kawah tersebut sudah tutup selama 2 minggu. hari ini adalah hari pertama dia buka. Setelah membayar ongkos masuk sebesar 12.000 sayapun segera menghampiri tukang ojek. Kali ini saya tidak bernegosiasi harga. Saya hanya minta diantar ke lokasi kawah, dan ketika sampai dikawah, saya minta tunggu.

Kawahnya luar biasa indah. Saya serasa berada di dunia lain. Kawah yang hijau dan langit biru diatasnya. Pepohonan yang ada disekitar kawah juga terlihat cantik dengan warna seperti warna pohon kayu manis. Karena hari ini hari senin, wisatawan yang berkunjung tidak banyak, jadi pemandangan indah tersebut serasa milik saya seorang. Ketika saya hendak meninggalkan tempat tersebut, serombongan anak ABG datang. Mereka berjumlah 5 orang. Setelah menhabiskan waktu cukup lama disana, saya segera memanggil tukang ojek untuk turun. Saya membayar ojek sebesar 20.000 mungkin saya bisa menawar lebih murah, tetapi saya tidak tega. Jika saya naik ojek dari terminal ciwidey maka saya akan bayar sebesar 50 ribu pulang-pergi. Tetapi karena saya naik angkot, dan hanya naik ojek pas di lokasi, total uang yang saya keluarkan adalah sebesar Rp 32.000. Ternyata bedanya ngga terlalu signifikan.

April Travel Plan


Bulan April ini, saya mempunyai waktu kosong selama satu bulan penuh. Awalnya saya ingin menggunakan waku ini dengan duduk-duduk saja di rumah. Saya sedang tidak ingin berfikir. Beberapa tahun belakangan ini saya terlalu lelah, baik fisik maupun fikiran. Tetapi ternyata waktu untuk leyeh-leyeh tersebut tidak akan terjadi. Karena saya sudah menyanggupi tantangan teman saya dengan melakukan backpacking seorang diri lewat jalan laut, darat dan juga udara. Untuk jalur udara, saya akan berusaha untuk menghindari semaksimal mungkin.

Teman saya, Jeng RA, si Antropolog keren, sudah memenuhi komitmennya dengan membuatkan travel plan untuk saya. Tetapi setelah mempelajarinya, saya jadi ragu apakah dalam waktu kurang dari satu bulan, saya akan bisa memenuhi perjalanan yang sudah dia rencanakan untuk saya. Jika saya baca kembali travel plan yang sudah dia rancang, sepertinya hal ini akan membutuhkan waktu selama kurang lebih tiga bulan. Sementara sekarang sudah tanggal 6 dan saya masih di Jakarta.

Saya akan baru memulai perjalanan saya besok dengan terbang ke Sumatra Barat dan akan mampir ke Mentawai sekitar 4 hari. Tidak terasa saya sudah tidak bekerja selama 6 hari, tetapi 6 hari saya merasa kok tetap sibuk ya? saya belum sempat berleyeh-leyeh selama 6 hari tersebut. Trus kemanakah 6 hari saya berlalu? Saya ingat kalau tanggal 1 saya masih ke kantor setengah hari, trus ketemuan dengan teman, trus mengunjung saudara, trus ke Bandung untuk menghadiri acara teman, di tambah satu hari jalan-jalan di bandung. Hari ini saya survei tempat dan mem-fix kan rencana perjalanan. Dan nanti sore akan bertemu dengan teman lagi, trus belanja untuk keperluan perjalanan, dan malamnya akan packing, dan besoknya pergi.

Berikut adalah travel plan saya yang sudah disiapkan oleh RA. ini masih belum fix, mungkin masih akan berubah. Biar perjalanannya enak, saya akan santai saja, dan tidak terlalu saklek dengan jadwal. Jika nanti ada beberapa tempat yang perlu dirubah, maka hal tersebut akan disesuaikan. Semoga travel plan yang disiapkan oleh teman saya RA ini bisa membantu bagi rekan-rekan yang juga sedangkan mempersiapkan rencana adventure.

Coy, it should be your final plan:

Dari Sumbar (as you wish), lu bisa naik kapal direct to Surabaya (yang kemungkinan mampir Jakarta). Kalau datangnya pagi, I suggest you to take bus or train untuk lanjut ke Surabaya. Biar lu nggak sumpek di kapal terus hehe.

Ini adalah bus-bus express yang berangkat ke Surabaya: a) Lorena; b) Kramat Djati; c) Pahala Kencana

Yang lainnya aku nggak tahu. Bus berangkat jam 15:00 atau 16:00 (untuk keberangkatannya, check di armada masing-masing). Tempat nunggu bus yang paling enak itu Kramat Djati (pull yang di Pondok Indah).

Kalau naik KA, ini pilihannya: a) Bima; b) Gumarang; c) Argo Bromo atau Argo Anggrek. KA, kalau yang Argo, kalau nggak salah berangkat jam 21:00. Kalau Bima dan Gumarang sorean, sekitar jam 16:00 atau 17:00. Lu bisa check jadwal KA di situsnya PJKA. KA yang paling murah itu Gumarang.

Ntar sesampainya di Surabaya, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan: a) Wisata Museum; b) Wisata Pecinan; c) Wisata Mangrove.

BTW, lu harus ke House of Sampoerna (ini wajib hukumnya kalau lu ke Surabaya). Di House of Sampoerna, lu bisa belajar gimana caranya jadi kaya kayak si Sampoerna hehe. Lu bisa duduk en foto-foto di mejanya Sampoerna (sapa tahu someday lu ketularan kaya kayak dia hehe). Kalau lu mau tahu House of Sampoerna, lu ke situs: http://www.wisatamuseum.com, trus lu search aja House of Sampoerna.

O,ya karena lu mau ke Sumbawa, lu harus make it to Surabaya at the latest tanggal 13. To be honest, kalau ke Bromo, gua sangsi (due to weather). Kalaupun nggak pa pa, lu terpaksa harus merelakan sunrise di Bromo, karena supaya save time, kita harus berangkat pagi buta dari supaya sorenya bisa langsung pulang. Dan, untuk ini, perlu sewa mobil yang jelas. Jadi, kita nggak ngabisin waktu di Bromo.

Nah, ada satu tempat yang kayaknya kita harus ngerasain nginep, yaitu di Kaliandra. Di sini nih tempatnya segala macam yang organik. Since you’re interested in the topic, I think you should visit it, and stay one night to contemplate. I think you might be interested in the program.

BTW, misalnya Bromo batal, kita ke TN Alas Purwo aja. Di sana ada Savannah yang isinya banteng (kali aja lu pingin melampiaskan emosi dan memburu banteng, trus habis itu dibuat corned hehehe). Or, if you want, kita bisa stay one night at Plengkung (salah satu site tentang GLand: http://www.g-land.com). Situs itu milik salah satu camp yang paling lama di Plengkung, dan gua dulu selalu dapat treatment yang baik dari stafnya (walaupun nggak nginep situ hehehe). Kalau lu mau, kita bisa stay di sana satu malem (nggak harus ambil package, tapi gua nggak tahu harganya yang sekarang; dulu sih USD 35). Sebenernya, yang paling bagus sih susur pantai. Lu akan senang liat perbedaan pantai-pantai yang dilalui. Sayangnya, musimnya lagi nggak bagus dan takes 6 hours walk to get to Plengkung. Kalau naik jeepnya Perhutani sih cepet, tapi nggak bisa ngeliat perbedaan pantai-pantai.

Nah, dari TN Alas Purwo ini, kita bisa langsung ke Banyuwangi, en lu bisa nyebrang ke Bali. Or, kalau lu sok kaya, lu bisa naik fast-boat dari G-Land 😛

Dari Bali, lu ke Lombok (lu udah tahu caranya kan). Dari Lombok, lu naik travel aja ke Sumbawa. Seingat gua, jam keberangkatannya ada dua, yaitu: pagi (sekitar jam 10 kalo nggak salah) dan sore (sekitar jam 15:00 kalo nggak salah). Kalo yang dari Sumbawa, jam keberangkatannya kayaknya dua kali juga. Gua tahunya cuman yang berangkat pagi jam 06:00.

BTW, kalau lu mau iseng nyoba naik pesawat yang bikin gua jantungan juga bisa, tapi jadwalnya gua lupa (kayaknya cuman dua kali dalam seminggu). Lu check aja di situsnya Trigana: http://www.trigana-air.com

Asiknya naik pesawat ini, lu bakal ngelewatin atasnya Rinjani, cuman lu harus cari tempat duduk yang bener supaya dapat fotonya. Kalau nggak salah, kalau dari Sumbawa, lu harus duduk sebelah kiri.

FYI, lu jangan menyingkat Sumbawa dengan Sumba ya. Itu dua daerah yang berbeda soalnya. Sumba ada di NTT soalnya.

Dari Sumbawa, lu kayaknya harus ngikutin jalur yang semula.

Sumbawa – Lombok – Bali.

Di Lombok, lu coba explore deh. Gua ada temen di Lombok. Lu bisa ketemuan ma dia. Ntar gua bilangin dia. Siapa tahu dia memforward lu ke orang lokal, dan lu dapat transport gratis 😀

BTW, temen gua yang di Lombok ini juga pernah di Palu. Jadi, lu bisa nanya-nanya dia.

Dari Bali, gua nyaranin lu naik pesawat aja ke Makassar. GA itu nggak mahal coy (500-an). Kalau lu ada Frequent Flyer, lu coba reedem aja, siapa tahu bisa.

Di Makassar, lu bisa ke: a) Fort Rotterdam; b) liat sunset di Losari (tapi pantainya biasa banget; tipikal pantai kota); d) Ke Samalona (tapi perahu ke sana mahal; kalo nggak salah 200-an pp); c) ke Ancolnya Makassar itu loh hehehe…

Nggak jauh dari Makassar, ada tempat bergua-gua yang lu bisa kunjungi (lu tanya Nirma untuk detailnya; gua lupa nama tempatnya). Trus, ada tempat pembuatan Pinisi.

Kalau lu mau ke Tana Toraja (liat perkuburannya), lu naik travel aja, en nginep di Rantepao. Di Rantepao, saran gua sih lu harus sewa mobil untuk keliling Toraja. Lu harus ke Bukit Tumonga. Keren coy!

But untuk detail Makassar, sebaiknya lu berkonsultasi dengan tokoh masyarakatnya, yaitu Nirma hehe..

Dari Makassar, kayaknya ada bus ke Poso (coba lu tanya Nirma atau Irma). Lu kan bisa stay satu hari di Poso untuk liat danaunya.

Dari Poso, lu naik bus ke Palu.

Di Palu, seperti kata gua, lu bisa ke Tanjung Karang (naik motor paling 45 menitan, dan lu nggak bakal nyesel naik motor ke sana, soalnya pemandangannya bisa lah buat difoto-foto; btw, jalanannya juga enak… nggak terlalu rame… jadi lu bisa jadi setan jalanan kayak gua hehe). Lu bisa juga ke TN Lore Lindu (Irma pasti mau banget nganter lu ke sana, soalnya dia demen ma danau yang ada di sana).

Sebenernya, ada satu tempat yang masih punya peninggalan zaman batu di Sulteng sana, tapi tempatnya jauh banget. Dan, akses kendaraan umum ke sana susah. Temennya Nirma, si Nino, tahu tempat itu.

Dari Palu, lu harus naik pesawat (Sriwijaya) ke Balikpapan. Optionnya cuman itu.

Di Balikpapan sih nggak ada apa-apanya. Dari Balikpapan, lu bisa ke Samarinda naik bus. Dari Samarinda, lu bisa lanjut ke Banjarmasin naik bus. Di Banjarmasin, lu bisa ke Pasar Apung, or cari berlian di Martapura (buat simpenan lu di hari tua hehe).

Kalo lu mau ke Kalbar, lu kayaknya harus naik pesawat. Setahu gua, dulu nggak ada jalan darat dari Banjar or Samarinda ke Pontianak.

Selebihnya, lu bisa cari tahu sendiri soal Kalimantan.

O,ya ada satu situs yang lu harus kunjungi selagi lu ada di Kaltim, yaitu situsnya Kerajaan Kutai. Lu harus ke sana (soalnya itu salah satu kerajaan tua dan berpengaruh di Nusantara).

Itu coy gambaran besarnya, dan gua pikir, itu cukup realistis dilakukan dalam waktu sebulan, dengan asumsi, di tiap propinsi, lu spend kurang lebih 7-8 hari (karena lu harus ngitung perjalanan lu juga kan).

RA

Itu adalah email terbaru dari jeng RA. Dan rincian diatas akan menjadi gambaran umum dari perjalanan yang akan saya tempuh untuk beberapa minggu ke depan.